Paradoks Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0

Anak Indonesia kurang gizi. Ilustrasi. Foto: UNICEF Indonesia

Koran Sulindo – Negeri ini memang penuh paradoks. Belakangan ini, misalnya, banyak orang Indonesia membicarakan secara menggebu-gebu Revolusi Industri 4.0. Namun, di sisi lain, prevalensi balita kerdil (stunting) karena kekurangan gizi di Indonesia terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara, di bawah Laos yang mencapai 43,8%. Di dunia, Indonesia berada di peringkat keempat.

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, balita yang mengalami stunting di Indonesia pada mencapai 30,8%. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang sebesar 20%.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, kalau permasalahan gizi ini tidak segera diselesaikan, kerugian ekonomi Indonesia bisa mencapai Rp 300 triliun, apabila total Produk Domestik Bruto (PDB) di kisaran Rp 15.000 triliun. Hitungan tersebut berdasarkan data UNICEF yang menyebut kerugian ekonomi karena kekurangan gizi mikro mencapai 0,7%-2% dari PDB negara berkembang.

Ironisnya, kata Bambang lagi, Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia. “Terbesar setelah Arab Saudi,” ujar Bambang pada acara “Workshop Nasional Fortifikasi Pangan Nasional” di Jakarta, 19 Februari 2019.

Ia pun mengimbau orang Indonesia untuk lebih bijak dalam mengonsumsi makanan. Caranya antara lain dengan mengonsumsi makanan secara bertanggung jawab, sebagaimana menjadi program Sustainability Development Goals (SDGs).

“Indonesia mengalami hidden hunger atau kelaparan tersembunyi. Intinya: kekurangan gizi mikro,” ujarnya.

Fenomena menyedihkan ini terjadi terutama pada ibu hamil dan anak balita. Tentu saja, ibu hamil yang mengalami kelaparan tersembunyi dapat memengaruhi pertumbuhan janinnya. Sementara itu, pada anak berpengaruh terhadap perkembangan kognitifnya dan daya tahan tubuhnya terhadap infeksi. Pada gilirannya ini akan mengancam kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.

Dijelaskan Bambang, Indonesia sekarang ini kekurangan gizi mikro yang terdapat dalam makanan. Karena itu, fortifikasi menjadi salah satu upaya memenuhi gizi bagi masyarakat. Fortifikasi adalah penambahan mikronutrien pada makanan.

Fortifikasi selama ini telah dilaksanakan produsen, baik secara wajib maupun sukarela. Umpamanya dengan menambahkan zat besi pada tepung terigu, iodium pada garam, atau vitamin A pada minyak goreng sawit.

Ada beberapa langkah yang perlu diambil untuk peningkatan efektivitas fortifikasi pangan di Indonesia. Langkah itu antara lain pengembangan regulasi. Pemerintah perlu segera menyusun regulasi untuk mendukung kebijakan dan pelaksanaan fortifikasi.

Pengawasan juga diperlukan. Perlu dirancang mekanisme pengawasan implementasi Standard Nasional Indonesia (SNI) fortifikasi yang jelas.

Tujuannya: meningkatkan kepatuhan pelaku industri terhadap standard produksi pangan fortifikasi. Langkah ini juga perlu diikuti dengan dukungan pembinaan agar pelaku industri mau dan mampu memenuhi ketentuan yang berlaku.

Yang tak boleh diabaikan adalah riset dan standardisasi, untuk mengurangi ketergantungan impor bahan fortifikasi. “Perlu upaya untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan dalam negeri, termasuk eksplorasi sumber pangan lain yang beragam dan bergizi tinggi, pengembangan multimicro nutrient atau MMN, serta biofortifikasi untuk memperkaya kandungan gizi pada tanaman pangan, serta intervensi-intervensi lain,” tutur Bambang.DALAM kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, kementeriannya akan bekerja keras serta menjalin kerja sama dengan kementerian dan lembaga yang lain untuk mencapai target penurunan angka stunting di Indonesia. Pemerintah, katanya, optimistis dana alokasi sebesar Rp 50 triliun akan mampu mengatasi penurunan prevalensi bayi penderita ganguan otak dan gangguan stunting hingga 28% pada tahun 2019 ini.

Anggaran itu sendiri dipecah ke beberapa kementerian dan lembaga, yakni Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

“Dari data Riskesdas, stunting ini turun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018. Tapi, WHO tetap meminta prevalensi tersebut agar di bawah 20 persen,” ujar Nila. Bahkan, tambah Nina, Presiden Joko Widodo secara langsung meminta angka tersebut terus turun dari 20% menjadi 10% hingga 0% atau tidak ada stunting.

Menurut Nila lagi, kementeriannya telah melakukan pemetaan daerah di Indonesia dengan tingkat stunting yang tinggi. Ada 160 kabupaten/ kota masih memiliki tingkat stunting yang tinggi.

Kementerian Kesehatan akan melakukan intervensi terhadap daerah-daerah tersebut. Caranya antara lain dengan mengutamakan akses air bersih, sanitasi, dan program kesehatan bagi bayi dan ibu hamil.

Untuk mengatasi masalah ini, Bank Dunia juga telah memberi pinjaman lunak senilai US$ 400 juta kepada Indonesia, dalam program “Investing in Nutrition and Early Years”. Pinjaman ini, menurut Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B. Panjaitan, merupakan bentuk apresiasi Bank Dunia terhadap Indonesia yang serius menangani masalah stunting.

“Bank Dunia mau bantu US$ 400 juta, tapi kita sendiri juga memberikan Rp 46 triliun untuk masalah stunting,” kata Luhut setelah rapat koordinasi pengentasan stunting di Kantor Wakil Presiden, 4 Juli 2018 lampau.

Dalam rapat koordinasi itu hadir Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim. Ia mengungkapkan, Indonesia menjadi pilot project dalam penanganan kasus stunting.

Dinyatakan pula oleh Jim Yong Kim, Bank Dunia berkomitmen membantu Indonesia menangani masalah stunting. “Kami juga akan mencari berbagai teknologi untuk membantu mengatasi persoalan ini. Kami menjadikan Indonesia sebagai suatu contoh bagi dunia, bagaimana persoalan semacam ini dapat diatasi,” ujarnya. [PUR]