Paham Kebangsaan Siswa Daerah Perbatasan Memprihatinkan

Ilustrasi

Koran Sulindo – Nilai paham kebangsaan para siswa di daerah perbatasan begitu rendah. Karena itu perlu ada penguatan wawasan kebangsaan. Demikian hasil penelitian para mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, terhadap para siswa kelas 5 SDN 16 dan SDN 19 DesaTemajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Desa Temajuk berbatasan langsung dengan Desa Teluk Melanau, Malaysia.

“Nilai paham kebangsaan di dua sekolah tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan nilai rasa dan semangat kebangsaan,” ungkap Deta Wijayanti, yang bersama Andika Putri Firdausy, Indah Miftakhul Janah, Aqmal Nur Jihad, dan Luqman Fikri Amrullah melakukan penelitian, saat berbincang dengan wartawan, Selasa kemarin (19/7) di Kampus UGM.

Menurut Deka, terdapat beragam latar belakang yang menjadi penyebab tinggi-rendahnya wawasan kebangsaan. Fenomena ini kemudian dapat dijelaskan melalui teori kebiasaan dan pembentukan perilaku. Beberapa faktor yang berpengaruh antara lain aktor meliputi guru dan siswa, keluarga, sekolah, hingga lingkungan masyarakat.

“Faktor lingkungan menjadi sangat penting, utamanya di daerah perbatasan,” katanya.

Karenanya, Deka dan kawan-kawan berharap wawasan kebangsaan di wilayah tersebut perlu dilakukan. Tidak hanya itu, pemerataan pembangunan, khususnya pendidikan, harus ditingkatkan dan terus dilakukan hingga ke pelosok daerah.

“Dengan pemerataan pembangunan diharapkan mengurangi ketergantungan hidup pada negara tetangga sehingga meminimalkan kemungkinan warga untuk pindah kewarganegaraan,” ujar Deka.

Sementara itu terkait dengan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang ada di Indonesia, yang  merupakan daerah yang masih rawan permasalahan sosial, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali mengirimkan mahasiswanya untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di empat daerah di wilayah 3T.

Ada 99 mahasiswa yang diberangkatkan pada pertengahan Juli lalu ke empat daerah berbeda, yakni di Kecamatan Nunukan, Sebatik, Kalimantan Utara; Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat; Kecamatan Sambi Rampas, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, dan; Kecamatan Kokoda, Sorong, Papua.

Tugas umum dari para mahasiswa selama berada di tempat KKN adalah meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat dalam tiga hal, yakni dalam hal pendidikan, pertanian, dan sosial ekonomi.

“Di Sebatik, para mahasiswa akan berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat sebagai warga negara Indonesia. Karena, letak Sebatik berbatasan dengan Malaysia dan penggunaan mata uang ringgit umum dilakukan, mahasiswa perlu membantu masyarakat lagi untuk meningkatkan ke-WNI-annya. Kalau yang di NTB, program pendukungnya akan terkait pengolahan produk hasil pertanian dan juga meningkatkan potensi pariwisata lokal,” ungkap Wakil Rektor I UMY, Dr Ir Gunawan Budiyanto, MP. [YUK]