Koran Sulindo – Pengadilan Myanmar yang menghukum wartawan Reuters disebut independen dalam mengambil keputusan. Meski mendapat protes dari berbagai pihak, semua proses hukum terhadap wartawan tersebut dikatakan sudah sesuai dengan Undang Undang Rahasia Negara.
“Kasus yang menimpa wartawan Reuters adalah murni keputusan pengadilan dan pengadilan itu independen,” kata juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay dalam keterangan resminya seperti dikutip Reuters pada Sabtu (8/9).
Dua wartawan Myanmar Wa Lone, 32 tahun dan Kyaw Soe Oo, 28 tahun divonis bersalah oleh pengadilan Myanmar pada Jumat lalu. Mereka disebut terbukti melanggar UU Rahasia Negara sehingga dihukum 7 tahun penjara. Pejabat senior PBB, pemerintah AS, Inggris dan Bangladesh memprotes putusan itu dan mempertanyakan tentang kebebasan pers di Myanmar.
Dikatakan Htay, pihaknya tidak bisa berkomentar lebih lanjut atas putusan pengadilan itu. Pasalnya, pihaknya bisa dikenakan tuduhan menghina pengadilan. Inilah komentar resmi pertama pemerintah Myanmar atas berbagai protes karena mengadili dua wartawan Reuters itu.
Adapun dua wartawan itu tentu saja mengaku tidak bersalah karena sedang menyelidiki pembunuhan terhadap 10 etnis Rohingya oleh aparat keamanan Myanmar. Karena kegiatannya itu, aparat lantas menangkap mereka pada Desember tahun lalu.
Aparat beralasan, tindakan kekerasan terhadap etnis Rohingya yang umumnya muslim itu sebagai reaksi atas serangan kekuatan bersenjata dari kelompok milisi. Akibat kekerasan aparat militer Myanmar itu, merujuk kepada data PBB, sekitar 700 ribu warga Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar.
Pemerintah, demikian Zaw Htay, tidak berusaha memengaruhi pengadilan kendati dunia internasional protes atas tindakan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Dewan Keamanan PBB bahkan ikut menekan Myanmar karena kekerasan terhadap etnis Rohingya itu. Dan itu terjadi sepekan sebelum putusan pengadilan terhadap dua wartawan Reuters itu.
“Ini menandakan pengadilan independen karena tidak tahu tentang tekanan itu,” kata Htay. “Setelah putusan terjadi, kami justru kian tertekan. Tapi, ini menjadi bukti kami tidak memengaruhi pengadilan.”
Sehari sebelum putusan terhadap dua wartawan itu, Pengadilan Pidana Internasional (ICC) mengungkapkan, pihaknya memiliki kewenangan untuk memeriksa mengapa warga Rohingya meninggalkan Myanmar secara massal. Itu membuka jalan bagi penyidik ICC untuk memeriksa apakah kasus tersebut bisa dinaikkan ke penuntutan.
Soal ini, Zaw Htay menolak berkomentar. Ia akan tetapi mengatakan, pemerintah akan mengeluarkan pernyataan resmi untuk menanggapi keputusan ICC itu. Myanmar sejak awal menolak putusan ICC karena tidak menandatangani Statuta Roma. Sedangkan, ICC mengungkapkan punya kewenangan karena warga Rohingya yang selamat dari kekerasan itu berada di wilayah Bangladesh. Dan negara ini merupakan anggota dari ICC. [KRG]