Koran Sulindo – Pemerintah terus mencari jalan untuk mengatur keberadaan taksi daring di Indonesia. Pasalnya, keberadaan taksi daring masih terus menuai kontroversi karena aturan berdasarkan Peraturan Menteri mengenai pelanggaran yang dikenai sanksi adalah pemilik armada.
Sementara perusahaan aplikasi, kata Direktur Angkutan dan Multimoda Ditjen Perhubungan Darat Cucu Mulyana, tidak dikenai sanksi karena bukan perusahaan transportasi umum. Ia karena itu menjelaskan, mengapa pihaknya menginginkan perusahaan aplikasi semacam Grab dan Go-Jek sebaiknya berubah menjadi perusahaan transportasi umum.
“Selama ini kedua perusahaan tersebut menempatkan diri mereka sebagai perusahaan transportasi umum. Sebaiknya ada aturan agar perusahaan aplikasi itu segera berubah agar tak ada lagi pro dan kontra,” kata Cucu seperti dikutip Kompas pada Kamis (12/4).
Dalam Peraturan Menteri 108 tentang transportasi daring, perusahaan aplikasi sama sekali tidak diatur keberadaannya. Di sana hanya mengatur tentang keberadaan transportasi. Pengemudi juga merasa senang ketika perusahaan aplikasi juga diubah menjadi perusahaan transportasi.
Atas dasar arahan Kantor Staf Presiden, menteri perhubungan memutuskan perusahaan aplikasi mesti berubah menjadi perusahaan transportasi. Keberadaan perusahaan aplikasi selama ini sudah seperti perusahaan transportasi umum. Pasalnya, mereka merekrut dan menerima pendaftaran pengemudi.
Di samping itu, untuk menangani masalah taksi daring ini, pemerintah juga sedang mempelajari aturan yang ditetapkan Korea Selatan. Negeri tersebut dinilai berhasil menerapkan dua jenis taksi konvensional dan daring. Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi bersama dengan Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi membahasnya dalam sebuah diskusi hari ini.
Umar Hadi, misalnya, mengatakan, ada dua solusi yang dibuat Korea Selatan yakni regulasi dan solusi teknologi. Berdasarkan aturan, taksi daring hanya sebagai pelengkap, bisa menggunakan pribadi dan melayani komuter digandengkan dengan solusi teknologi yang menyediakan aplikasi gratis bagi taksi kovensional.
Itu sebabnya, bisnis taksi transportasi umum di sana masih menggeliat, kata Umar. Aplikasi Kakap Talk, misalnya, menyediakan aplikasi gratis untuk perusahaan-perusahaan taksi konvensional. Kemudian, taksi daring, kata Umar, hanya boleh beroperasi pada jam-jam sibuk dan pulang kerja.
Menurut Umar, taksi konvensional yang menggunakan aplikasi tersebut mencapai 96% dan sekitar 18 juta pengguna yang terdaftar dalam aplikasi tersebut dengan sekitar 1,5 juta panggilan per hari. Dari sisi tarif, nyaris tidak ada beda antara taksi daring dan konvensional. Bedanya hanya dalam bentuk layanan: menggunakan aplikasi yang memudahkan konsumen.
Aturan tentang taksi daring di Korea Selatan baru dibentuk pada 2017. Dari segi aturan, menurut Cucu Mulyana, sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan Indonesia. Bedanya, aplikasi di Korea Selatan diberikan secara gratis. Sedangkan di Indonesia menggunakan sistem berbagi: 20% untuk aplikator dan 80% untuk pengemudi.
Itu sebabnya, taksi konvensional di Korea Selatan juga menggunakan aplikasi serupa karena gratis, Dengan demikian, keseimbangan pun tercipta. [KRG]