Koran Sulindo – Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri, menyatakan perdamaian Korea Selatan dan Korea Utara (Korut) harus dilanjutkan dengan upaya lebih keras untuk menjaganya lewat kesepakatan-kesepakatan baru untuk kerja sama di berbagai wilayah kehidupan. Sebaiknya perjanjian kerja sama itu disepakati oleh kedua pihak sebagai saudara sebangsa.
Tampil sebagai pembicara utama dalam DMZ International Forum for Peace Economy di Lotte Hotel, Seoul, Megawati mengaku menitikkan air mata bahagia pada 27 April 2019.
Sebab saat itu, pemimpin Korsel Moon Jae-In dan Pemimpin Korut Kim Jong-Un bermufakat untuk menandatangani Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran dan Unifikasi Semenanjung Korea.
Baginya, saat itu sejarah baru telah ditorehkan, bukan hanya bagi dua negara, tapi bagi peradaban bangsa Asia. Namun demikian, saat perdamaian tercapai, bukan berarti perjuangan berhenti.
“Perjuangan selanjutnya adalah mengkristalisasikan perdamaian sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat,” kata Megawati di Seoul, Korea Selatan, Kamis (29/8).
Ia mendorong agar kesepakatan lebih lanjut segera dibicarakan secara musyawarah dan mufakat. Dirinya sangat berharap, setelah perdamaian Semenanjung Korea tercapai, dapat segera tercapai pula sebuah kesepakatan baru, yang diikuti langkah-langkah konkret kerjasama antar dua negara.
“Di dalam sebuah kapasitas perdamaian yang sudah dimulai, sebaiknya diberi kesempatan antara pemimpin Korut dan Korsel, berdua sebagai saudara, melakukan pertemuan-pertemuan agar ini bisa dapat dirumuskan lebih baik,” kata Megawati.
Baginya, kerja sama yang dilakukan bukan kerjasama ekonomi yang berwatak pragmatis sempit. Tetapi kerjasama luas di berbagai bidang termasuk lingkungan hidup, pendidikan dan kebudayaan dalam kerangka insdutrialisasi di era digital.
Megawati juga mengusulkan agar ada perumusan dan kesepakatan terkait strategi, kebijakan dan langkah-langkah untuk menyikapi permasalahan global.
Seperti ancaman radikalisme yang menggunakan isu agama dan identitas, fundamentalisme pasar dan isu perang dagang, kejahatan keuangan, narkotika, HIV-AIDS, perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan dan ancaman perdagangan manusia.
“Serta yang tak bisa kita lupakan saat ini adalah isu perubahan iklim dan pencemaran lingkungan,” ujar Megawati.
Megawati kembali menyatakan bahwa Pancasila dengan musyawarah dan mufakatnya menjadi jalan yang sebaiknya ditempuh dalam mendorong perdamaian Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) yang lebih baik.
“Dalam forum ini pun saya menawarkan kembali metode demokrasi yang ada di dalam Pancasila, yaitu Musyawarah dan Mufakat. Saya sangat berharap, setelah perdamaian Semenanjung Korea tercapai, dapat segera tercapai pula sebuah kesepakatan baru, yang diikuti langkah-langkah konkret kerjasama antar dua negara,” kata Megawati.
Megawati sebagia salah satu pembicara utama bersama mantan Kanselir Jerman Gerhard Schroder, mantan PM Jepang Yukio Hatoyama, Presiden pertama Mongolia Punsalmaagiin Ochirbat, serta beberapa tokoh penting lainnya dari Rusia, AS, dan Norwegia.
“Musyawarah mufakat adalah suatu metode komunikasi politik yang membuka ruang dialog terbuka tanpa hasrat dominasi terhadap pihak lain. Tema-tema yang telah disepakati, lalu dibicarakan tidak dengan paradigma mayoritas dan minoritas,” tambah Megawati.
Di hadapan ratusan lebih hadirin peserta acara, Megawati menjelaskan musyawarah mufakat adalah prinsip demokrasi yang terkandung dalam Pancasila, Ideologi Bangsa dan Dasar Negara Indonesia. Lima prinsip yang menjadi penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu; Ketuhanan Yang Maha Esa, nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial.
Metode itu mendorong pencapaian satu kesepakatan, yang di dalam kesepakatan itu terpatrikan keputusan politik tindakan afirmasi negara kepada rakyat.
“Terutama bagi kelompok yang termarginalkan akibat sistem politik yang ada. Bukan suatu hal yang mudah untuk dijalankan, tetapi bukan berarti tidak mungkin,” ujar Megawati.
Sementara itu, Perdana Menteri Korea Selatan, Lee Nak Yeon, dalam pernyataannya melalui rekaman video mengakui topik pembahasan di DMZ adalah hal menarik. Sebab Korut dan Korsel sudah mengalami konflik lebih dari 70 tahun. Dan akhir-akhir ini ada perubahan lebih baik.
“Memang belum sempurna tapi perdamaian sudah dimulai,” kata Lee Nak Yeon.
Yang terlihat adalah zona demiliterisasi Korea (Korean Demilitarized Zone/DMZ) yang merupakan wilayah terdepan dari konflik kedua negara. Sekarang wilayah itu perlahan sudah menuju zona damai. Berbagai langkah terus dilakukan. Perubahan-perubahan ke arah lebih baik juga berjalan.
“Memang jalan menuju perdamaian tak mulus. Tapi kita punya tujuan sama menuju perdamaian, karena hanya dengan itulah kita mencapai kesejahteraan bersama,” kata Lee Nak Yeon. [CHA]