Koran Sulindo – Apresiasi terus diberikan berbagai pihak untuk Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Pada Kamis ini (16/11), Megawati kembali menerima doktor kehormatan (honoris causa). Kali ini, gelar itu diberikan oleh sivitas akademika Universitas Nasional Mokpo (MNU), universitas terbaik di Korea Selatan.
Dalam orasi ilmiahnya, Megawati mengatakan, paradigma ekonomi pembangunan konvensional atau yang biasa disebut kapitalisme bagai pedang bermata dua. “Sejak Revolusi Industri tahun 1750-an, kapitalisme memang membuat ekonomi dunia berkembang sangat pesat,” ungkap Presiden Kelima Republik Indonesia itu.
Kemajuan teknologi yang diinisiasi oleh kapitalisme pun, tambahnya, telah membuat hidup manusia lebih sehat, mudah, cepat, dan lebih nyaman. “Namun, kelaparan dan kemiskinan di dunia semakin memburuk. Hampir dari setengah dari 7.3 miliar populasi di dunia saat ini miskin dan 1,1 miliar di antaranya hidup dalam kemiskinan ekstrem, sebagaimana data dari World Bank. Apalagi, ekonomi dunia tidak hanya sangat tidak setara, tapi juga merusak lingkungan dan mengancam Bumi sendiri,” ungkapnya.
Dampak negatif ekonomi kapitalis ini dipicu oleh keserakahan dan hedonisme manusia, yang menyebabkan perubahan pada Bumi, seperti siklus air, nitrogen, dan karbon, yang sangat dibutuhkan manusia. “Pemikiran ekonomi politik Bung Karno merupakan antitesis bagi kapitalisme dan imperialisme, yang merupakan akar penyebab kemiskinan dan penindasan terhadap negara-negara yang terjajah, termasuk Indonesia,” ujar Megawati.
Dalam kesempatan tersebut, Megawati Soekarnoputri juga memaparkan soal Demokrasi Pancasila. “Pancasila punya lima prinsip utama. Pertama, seluruh rakyat Indonesia percaya terhadap Tuhan yang Maha-esa, saling menghormati, dan tanpa ada egoisme agama. Prinsip kedua merupakan sebuah komitmen tulus Indonesia untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, damai, dan adil, tidak hanya bagi rakyat Indonesia, tapi bagi seluruh umat manusia di Bumi ini,” tuturnya.
Prinsip ketiga mencerminkan pentingnya nasionalisme dan internasionalisme agar tidak ada perselisihan atau pertentangan yang hadir karena nuansa superioritas rasial dan kosmopolitanisme. Prinsip keempat menggambarkan kehidupan bermusyawarah, gotong-royong, atau demokrasi di Indonesia. “Demokrasi yang dilandasi oleh nilai-nilai sosial dan budaya masing-masing masyarakat Indonesia,” ungkap Megawati.
Prinsip kelima merupakan prinsip terakhir: keadilan sosial merupakan sebuah kunci dari kemakmuran dan perdamaian dunia. “Kelima prinsip di atas adalah intisari demokrasi Indonesia, Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia, yang mengutamakan kelompok lemah, sehingga ekploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah tidak akan terjadi. Demokrasi Pancasila mampu melawan otoritarianisme dan totalitarianisme, yang hanya akan membuat sentralisme demokrasi dan kekuatan diktatorial. Inilah demokrasi sejati, kombinasi antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi,” kata Megawati lagi.
Sehari sebelumnya, Rabu (15/11), Megawati bertemu dengan Perdana Menteri Korea Selatan Lee Nak-yon di Gwanghwamun. Dalam pertemuan tersebut, Megawati antara lain didampingi oleh putra pertamanya, Mohammad Rizki Pratama; Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kemaritiman Rokhmin Dahuri, dan; Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi.
Megawati mengatakan, ia berharap Korea Selatan dan Korea Utara menggunakan upaya damai untuk mengatasi permasalahan, bisa mengedepankan rekonsiliasi. Selain itu, pembicaraan Megawati dengan Lee juga membahas hubungan Indonesia dan Korea Selatan ke depan, agar terjadi sinergi yang lebih erat.
PADA 29 MEI 2017 lalu, Megawati Sukarnoputri diundang Presiden Korea Selatan Moon Jae-In, untuk berbincang tentang hubungan Korea Selatan-Indonesia. Pertemuan itu berlangsung di Istana Kepresidenan Korea Selatan di Kota Seoul.
Selama perbincangan, Moon menyampaikan banyak harapan kepada Megawati dan juga Indonesia. Salah satunya adalah harapan agar Megawati mengambil peran kembali dalam proses reunifikasi dua Korea.
Perempuan pertama yang menjadi presiden di Indonesia ini memang pernah terlibat dalam proses reunifikasi dua Korea ketika menjadi Presiden Republik Indonesia. “Saat saya presiden, Kim Dae Jung adalah Presiden Korea Selatan. Beliau adalah sosok yang sangat ingin menyatukan utara dan selatan,” kata Megawati.
Oleh banyak kalangan, Kim Dae Jung pernah dijuluki sebagai Nelson Mandela dari Asia. Dan, Megawati berhubungan baik dengan Kim Dae Jung. Begitu pula dengan Presiden Korea Utara saat itu, Kim Jong Il. Itu sebabnya, Megawati mengambil peran dalam upaya perdamaian kedua negara tersebut. “Bahkan saat Kim Dae Jung digantikan Roh Moon-Hyeun, saya diminta menjadi special envoy untuk reunifikasi kedua negara,” tutur Megawati.
Karena itu, wajar bila Presiden Moon Jae-in meminta Megawati kembali ambil peran. “Keterlibatan dan perhatian saya terkait isu Korea sejak lama inilah yang mungkin mendorong Moon agar saya kembali terlibat dalam reunifikasi kedua negara,” ujar Megawati.
Sebelumnya, pada Oktober 2015, Megawati dianugerahi gelar doktor honoris causa dari Korean Maritime and Ocean University (KMOU) di Busan, Korea Selatan. KMOU adalah salah satu universitas negeri terkemuka dan paling lama di Korea Selatan. KMOU menganugerahkan gelar doktor honoris causa bidang politik kepada Megawati karena menilai Megawati telah memberikan sumbangan besar terhadap bangsa dan negara Indonesia, yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terutama melalui kebijakan pengembangan industri yang berkaitan dengan kemaritiman dan demokrasi. Megawati juga dinilai telah memberikan sumbangan yang cukup besar untuk perdamaian dan kestabilan di semenanjung Korea.
Pada tahun 2017 ini, Megawati juga dianugerahi gelar doktor honoris causa dari Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat. Setahun sebelumnya, tahun 2016, Megawati mendapat gelar yang sama dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Gelar doktor honoris causa juga diberikan kepada Megawati dari Wasseda University-Jepang dan Moscow State Institute-Rusia. [PUR]