Koran Sulindo – Sudah cukup lama kita menangis, jangan menangis lagi, tegakkan mukamu menjadi manusia sejati, untuk menegakkan kebenaran
Bagi mereka yang tak pernah berhenti memperjuangkan keyakinannya, bait dari puisi pujangga India Swami Vivekananda itu jelas punya makna khusus. Puisi itu jadi cambuk yang mengingatkan.
Itulah mengapa Megawati Soekarnoputri menyitir bait-bait puisi itu saat berpidaro pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya 6 Desember 1993. Perjuangan butuh keteguhan.
Dari Surabaya itulah kali pertama tantangan terbuka dilayangkan pada rezim Orde Baru yang sedang menikmati puncak kuasanya. Kala itu, hanya sedikit tokoh yang berani bersuara dan bertindak melawan Soeharto.
Megawati berjuang tanpa banyak bicara, dia kuat dan teguh menegakkan demokrasi dan tetap melangkah maju sesengit dan seberat apapun risikonya. Menantang kemauan rezim secara terbuka dalam kongres luar biasa itu bukannya tanpa risiko.
Sejak semula, KLB di Surabaya yang digelar 2-6 Desember 1993 memang hanya mengusung skenario tunggal. Budi Hardjono harus tampil sebagai Ketua Umum PDI menggantikan Soerjadi yang mulai dianggap sebagai ‘anak nakal’ oleh rezim.
Nama Soerjadi dianggap ‘cacat’ setelah dituding bertanggung jawab atas penculikan demonstran yang menduduki kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Juli 1991. Anak buah Ketua DPD PDI Jakarta Alex Asmasubrata bertindak kebablasan dengan memukuli sekaligus menculik dua demonstran. Kasus ini berakhir di pengadilan dengan Alex sebagai terdakwa dan Soerjadi sebagai saksi.
Di Surabaya, Budi Hardjono yang digadang-gadang rezim belakangan justru gagal menjadi ketua umum. Banyak pendukungnya berbalik sikap dan mendukung Megawati di Surabaya. Megawati mengantongi 256 dari 305 suara cabang dan secara resmi, dia hanya tinggal menunggu sidang pemilihan ketua umum.
Dukungan mutlak itu membuat rezim panik.
Melalui Mendagri, Kasospol ABRIdan jajaran Sospol tingkat I dan II yang’mengawal’ peserta kongres mulai bermanuver. Mereka mati-matian mengulur waktu agar sidang pemilihan ketua umum tak digelar setidaknya sampai masa izin kongres berakhir pukul 24.00 WIB. Mengincar deadlock mereka berharap persoalan PDI bakal kembali diserahkan ke pemerintah.
Suasana kongres mencekam dan penuh intimidasi. Lokasi acara penuh tentara dan polisi bersenjata yang bersiaga bak mengepung musuh. Menjelang pukul 20.00 malam, sebagian peserta kongres meninggalkan arena kongres. Isu yang tersiar, kerusuhan meletus dan kongres bakal dibuat ricuh.
Megawati bertahan di tempat, sekaligus mengikuti setiap detik-detik perkembangan. Dia juga menolak ketika ketika tentara ‘menawarkan’ evakuasi dengan panser dengan alasan keamanan. Sikapnya tegas, dia tak akan meninggalkan arena kongres meski apapun yang terjadi.
Megawati sadar, jika menuruti ‘perlindungan’ yang ditawarkan aparat, dia bakal dianggap meninggalkan kongres dan menjadi alasan kegagalan kongres.
Meski kubu Budi Hardjono mati-matian memacetkan sidang, dua jam sebelum tenggat izin berakhir Megawati justru bangkit melawan. Dia memproklamirkan diri sebagai ketua umum de fakto yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998. “Saudara-saudara yang saya hormati, secara de facto saya sudah menjadi ketua umum. Tapi secara de jure memang belum. Untuk itu, saudara-saudara saya minta bersikap tenang, karena PDI adalah bagian dari bangsa Indonesia,” kata Megawati.
Dalam pernyataan itu, Megawati menyebut penetapan de jure akan dilakukan dalam Munas atau sejenisnya di Jakarta dalam waktu dekat. Dia juga mengimbau agar semua peserta kongres dan para simpatisan pulang ke tempat masing-masing dalam suasana damai dan tertib.
Setelah KLB, Mega menggelar safari politik termasuk menjumpai Kasospol ABRI Letjen Haryoto PS, Pangdam Jaya Mayjen Hendropriyono hingga Direktur A Bais Brigjen Agum Gumelar. Dia juga menemui Siti Hadiati Rukmana alias Mbak Tutut dan Mendagri Yogie SM. Setelah pertemuan, Yogie menyebutkan bahwa kemungkinan Mega bisa menjadi ketua umum PDIP.
Pada Munas PDI di Jakarta tahun 1994, barulah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998.
Mulai Bangkit
Beres dengan makan malamnya di sebuah restoran di Kemayoran, pasangan itu berniat akan segera beranjak ketika dari jauh suara memanggilnya. “Taufik, Mega, sini! Masih sempat ngomong tidak,” kata si pemanggil.
Ya, pasangan itu adalah Megawati dan Taufik Kemas sementara si pemanggil adalah Sabam Sirait.
Memenui panggilan itu, Taufik mendekat sementara Mega tak bergeming. Kepada Taufik, Sabam menyarankan agar mereka terjun ke politik dan bergabung dengan PDI yang memang kelahirannya dibidani Sabam. “Fik cobalah kamu berdua masuk ke politik,” kata Sabam.
Taufik dan Megawati hanya tertawa. Di dekade 80-an, ajakan itu mustahil dipenuhi. Rezim yang berkuasa mengharamkan Keluarga Bung Karno untuk berkiprah di politik. Orang juga sedang keras-kerasnya anti dengan keluarga Bung Karno.
Tak lama setelah pertemuan itu, Taufik kembali bertemu Sabam. Cuma kali ini tanpa Megawati. “Pasti diajak ke politik lagi kan?” tebak Megawati ketika Taufik berniat menceritakan pertemuannya dengan Sabam itu. Pertanyaan itu diamin Taufik, menurutnya Sabam masih penasaran membujuk agar mereka terjun ke politik. Hingga bertahun-tahun berikutnya Mega tetap kukuh menolak ajakan itu.
Barulah di tahun 1986 hati mulai Megawati luluh dan memutuskan menerima ajakan Sabam awal tahun 1987. Kariernya diawali dengan menjadi Wakil Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Keputusan terjun ke politik bukannya tanpa risiko. Nama besar Bung Karno dipertaruhkan. Keputusan itu sempat dipertanyakan oleh para sesepuh PNI, partai yang didirikan dan dibesarkan Bung Karno. Megawati dipanggil dalam sebuah pertemuan para sesepuh nasionalis. Pertemuan digelar di rumah Supeni tokoh PNI di Jalan Daha, Kebayoran Baru, Jakarta.
Mangara Siahaan yang kala itu menemani Megawati mengingat, suasana langsung hening saat Megawati bertanya, “Ada apa saya di panggil Om-om dan Tante-tante.”
Supeni yang menjawab bahwa mereka berkumpul mereka ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Megawati. Untuk itu disepakati Manai Sophian sebagai juru bicara. Sejenak kemudian, Manai Sophian mengajukan pertanyaan, “Anak kami, kami mau dibawa kemana kok masuk PDI?”
Mendengar pertanyaan tersebut, sembari tersenyum Megawati menjawab, “Aku naar Merdeka Utara.”
Suasana langsung sunyi. Mangara menyebut terdengar isak tangis para sesepuh yang terharu dengan tekad itu. Peristiwa itu hanya berlangsung beberapa menit, tak ada lagi pertanyaan dan acara dilanjut dengan silaturahmi dan makan-makan.
Bagi Megawati, terjun ke dunia politik sebenarnya bukan hal yang baru. Kematangannya berpikir sejak dia masih kecil. Pendidikan politiknya langsung diperoleh dari Sukarno yang biasa memberikan pemahaman cinta tanah air saat sarapan pagi. Dia juga sering diajak berdiskusi setelah Sukarno menerima tamu.
Megawati mulai terlibat dalam kampanye untuk PDI pada Pemilu 1987.
Menampilkan simbol- simbol Bung Karno yang diwakili putra-putrinya rupanya menjadi faktor kunci keberhasilan PDI mendulang suara. Dari 85.8 juta suara yang sah, PDI menggaet lebih dari 9.3 juta suara atau 10,87 persen. Jumlah itu setara dengan 40 kursi di DPR, naik 16 kursi dibanding perolehan suara pada Pemilu 1982.
Peningkatan perolehan suara PDI itu berlanjut pada pemilu 1992. Megawati dan Guruh Soekarnoputra kembali menjadi andalan untuk meraih dukungan massa khususnya kawula muda. Meski tetap di urutan ketiga, pada pemilu itu suara PDI naik menjadi 14,9 persen dan berhak atas 56 kursi di DPR.
Meningkatnya dukungan rakyat kepada PDI itulah yang membuat Orde Baru gerah. Megawati dan PDI harus dihentikan. Faktor eksternal itulah yang belakangan menjadi tema utama berlarut-larutnya krisis di partai berlambang banteng. Memanfaatkan kaki tangannya di PDI, rezim Soeharto terus menerus memicu perselisihan termasuk pada KLB di Surabaya yang berpuncak pada penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro 27 Juli 1996. [TGU]
[Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno pernah menegaskan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Mengabaikan atau melupakan sejarah hanya akan menuntun kita pada peradaban yang sesat.
Sejarah mencatat, selain tampil sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua umum partai, Megawati Soekarnoputri adalah presiden perempuan pertama. Selain itu, Megawati juga ‘king maker.’
Tak ada yang datang tiba-tiba, perjalanan politiknya penuh liku dan onak dari dunia politik yang telengas itu.
Sekadar untuk merawat ingatan, seri tulisan tentang Megawati Soekarnoputri ini hadir untuk menunda lupa. Mengingatkan kembali dan selebihnya seperti kata Bung Karno, “Mari kita berjalan terus, terus! Onward, ever onward, never retreat! Insya Allah kita pasti menang!”]