Koran Sulindo – Banyak ilmuwan dari berbagai penjuru dunia kini sedang memberi perhatian lebih besar terhadap medan magnet Bumi. Karena, laporan yang dimuat dalam jurnal Nature pada 9 Januari 2019 lalu mengungkapkan, kutub utara medan magnetik Bumi bergerak sangat cepat meninggalkan Kanada menuju Siberia.
Seperti djelaskan dalam laporan penelitian banyak ilmuwan, Bumi memiliki inti bagian dalam yang terbuat dari cairan logam. Inti ini bekerja tak ubahnya magnet raksasa, dengan kutub utara dan bagian selatan, yang punya tempat sama pada kutub geografis.
Medan magnet atau magnetosfer merupakan “lapisan” kekuatan di sekitar Bumi. Karena itu, magnetosfer sangatlah penting bagi kehidupan di Bumi, antara lain untuk menentukan arah dalam kompas/navigasi. Medan magnet terutama dibangkitkan oleh cairan logam itu. Perbedaan arus juga mengubah medan.
“Medan magnet melindungi kita dari angin tenaga Matahari [gelombang partikel dari Matahari] yang dapat menjadi sangat berbahaya,” demikian dikatakan geolog Ricardo Ferreira Trindade dari University of Sao Paulo kepada BBC.
Memang, medan magnetik Bumi bukanlah medan statis, tapi medan yang dinamis. Magnet Kutub Utara, misalnya, selalu berubah posisi, walau dalam rentangan tertentu. Sementara arah perubahan tidak bisa diramalkan, kecepatannya biasanya tetap.
Namun, dalam 10 tahun terakhir, medan magnet berubah lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Pergerakan dari Kanada ke Siberia jauh lebih cepat daripada perkiraan para ilmuwan.
Itu sebabnya, para ahli geomagnetisme harus memperbarui Model Magnetik Bumi (WMM), sebuah peta kekuatan magnetik. Peta ini digunakan secara meluas pada navigasi militer dan sipil. Juga digunakan pada aplikasi telepon pintar, seperti Google Maps.
“Ini dibuat dari serangkaian pengamatan di seluruh dunia selama lima tahun. Dari sana, model dunia dibuat, memperlihatkan perubahan ruang dan waktu. Mirip peta 4D,” ungkap Trindade. “Ini model dasar, bahkan untuk memosisikan satelit.”
Versi terbaru WMM dirilis pada tahun 2015 lalu dan seharusnya tetap berlaku sampai tahun 2020. Namun, kecepatan perubahan magnetosfer membuat para ilmuwan harus memperbarui untuk versi yang dijadwalkan keluar pada 30 Januari 2019.
Bukan hanya perubahan kutub. Getaran elektromagnetik yang terasa di atas Amerika Selatan pada tahun 2016 juga mengharuskan dilakukannya pembaruan. Perubahan yang tidak terduga ini meningkatkan jumah kesalahan pada model yang ada sekarang.
Dalam laporan Nature, peneliti Amerika dan Inggris mengatakan, WMM yang saat ini telah kedaluwarsa nyaris mendekati batas yang dapat diterima dan dapat menimbulkan kemungkinan kesalahan navigasi. Keamanan satelit WMM juga diperlukan bagi keamanan peralatan yang mengorbit Bumi.
Medan magnet tersebar secara tidak seimbang dalam kaitan dengan kekuatannya dan memberikan perlindungan yang lebih sedikit jika melemah. Wilayah ini, terutama pada ketinggian tinggi, lebih peka terhadap angin tenaga surya (solar wind).
“Peralatan atmosferik, satelit, dan teleskop lebih peka terhadap kerusakan jika berada di atas wilayah ini,” ujar Trindade.
Penyebab di balik perubahan tersebut masih berusaha dipahami oleh para ilmuwan. Gerakan Kutub Utara kemungkinan terkait dengan arus cepat logam cair di bawah kerak Bumi di Kanada, seperti yang diungkap kajian Leeds University pada tahun 2017.
Salah satu penulis kajian itu, Philip W. Livermore, mengatakan bahwa hal ini dapat memperlemah medan magnet di atas Kanada, sementara yang di atas Siberia tetap kuat. Ini akan “menarik” kutub lebih cepat ke arah Rusia.
Medan magnet Bumi sangat beragam sehingga kutub magnet utara dan selatan telah berubah tempat beberapa kali sejak planet terbentuk. Konfigurasi saat ini telah ada sejak sekitar 700.000 tahun, tetapi ini dapat mulai berubah kapan pun. Namun, geolog lain di Sao Paulo University, Marcia Ernesto, percaya perubahan letak kutub memerlukan waktu 1.000 tahun.
Diungkapkan Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Satria Bijaksana, variasi mengenai medan magnetik Bumi memang perlu untuk diketahui, tapi tidak perlu terlalu dikhawatirkan oleh orang Indonesia. Karena, Indonesia yang terletak jauh dari kutub magnetik relatif tidak terdampak. Dampak dari perubahan magnetik Bumi yang terbesar akan dirasakan di daerah Kutub Utara, sebab arah navigasi bergeser.
“Trennya sekarang medan magnetik itu melemah, namun tak perlu ditakutkan karena itu melemah biasa. Kalau dilihat dari rekaman, sejak dulu pernah melemah dan naik lagi,” kata Satria dalam diskusi “Bagaimana Medan Magnetik Bumi Berubah dan Dampak Perubahan bagi Manusia” yang diselenggarakan KK Geofisika Global, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Rabu lalu (16/1) di Aula Gedung Kampus ITB, Jawa Barat, sebagaimana dikutip dari laman berita ITB.
Satria menjelaskan, medan magnetik Bumi sudah ada setidaknya 4,2 miliar tahun lalu. Pengukuran intensitas medan magnetik Bumi pertama di Indonesia dilakukan oleh de Rossell pada 9 Oktober 1792 di Surabaya.
Berdasarkan sejarah, kata Satria, belum ada kejadian medan magnetik Bumi sampai pada angka nol. Namun, pembalikan medan magnetik pernah terjadi di Bumi. Pemicunya bisa kemungkinan akibat dari tumbukan meteor, jatuhnya lempeng benua ke mantel, atau adanya mantle plume yang baru pada bidang batas antara inti dan mantel bumi.
Kendati demikian, ungkap Satria lagi, dengan semakin bergantungnya kita pada telekomunikasi dan komunikasi satelit, perlu disadari bahwa mungkin terjadi gangguan akibat interaksi medan magnetik Bumi dengan solar wind. Jadi, pengetahuan dan kewaspadaan memang diperlukan, termasuk oleh orang Indonesia. [PUR]