Koran Sulindo – Pernyataan blak-blakan La Nyalla Mahmud Mattalitti yang mengaku dimintai uang Rp 40 miliar oleh Prabowo Subianto membuktikan bahwa ‘mahar’ politik merupakan kelaziman dalam praktik politik di tanah air.
La Nyalla menyebut mahar itu adalah syarat agar bisa diusung sebagai calon partai itu dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Ia menambahkan dana sebesar Rp40 miliar itu sebagian digunakan sebagai honor saksi di tempat pemungutan suara.
Menurut hitung-hitungannya dengan 68 ribu TPS di seluruh Jawa Timur, jika setiap saksi mendapat honor Rp 200 ribu maka dibutuhkan dana hingga setidaknya Rp28 miliar.
Mahar politik ataupun sejenisnya seperti money politik sejatinya bukan barang baru dalam ajang perpolitikan di tanah air. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kandidat atau calon kepala daerah baik kader internal parpol maupun calon eksternal mesti membayar sejumlah uang atau mahar untuk mendapatkan ‘kendaraan’ dalam tahapan pilkada.
Tak hanya La Nyalla, permintaan serupa ternyata juga dialami oleh pasangan Siswandi-Euis Fetty Fatayati di Cirebon dan pasangan Krisli-Maryono di Kalimantang Tengah.
Menurut anggota Badan Pengawas Pemilu Muhammad Afifudin seperti dilansir Kompas.com menyebutkan pihaknya akan melakukan klarifikasi pihak-pihak yang terkait. “Besok dipanggil. Enggak ada laporan, tetapi mau mengklarifikasi,” kata Afifuddin.
Ia menambahkan munculnya kasus mahar politik dalam Pilkada Serentak 2018 harus dimaknai sebagai hal positif karena mereka yang menolak memberikan mahar sadar tindakannya sebagai malapraktik pemilu. “Jangan sampai kita memaklumi praktik-praktik mahar politik yang selama ini dibenci,” kata Afifuddin.
Sementara itu, Sekretaris DPP PKS Bidang Polhukam Suhud Alynudin menyebut mahar politik merupakan sebuah konsekuensi dari sistem demokrasi di Indonesia, yaitu setiap warga negara dapat memilih langsung pemimpinnya.
Mahar politik muncul untuk membayar ongkos politik seperti biaya kampanye atau saksi di pemungutan suara.
“Mahar politik itu artinya dia sebuah konsekuensi sistem. Kita seperti mencari ayam dan telur dulu. Kita bicara politik tanpa uang dalam sistem terbuka itu tak mungkin, walaupun bisa diminimalisasi,” kata Suhud pada sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (13/1) kemarin.
Ia jug tak menampik Suhud tak menampik bahwa ongkos untuk maju sebagai kontestan dalam pilkada memang besar. Tak bisa dihindari, menurut Suhud biaya itu bisa diminimalisasi dengan pembatasan besaran biaya kampanye.
Kata Suhud, PKS mendukung usul ini namun ditentang mayoritas parpol lain di parlemen.
Sementara itu menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat menyebut mahar politik terjadi karena kegagalan partai melakukan kaderisasi. Tanpa uang iuran dan sumber-sumber keuangan lain partai akhirnya hanya hidup dari simpatisan.
Di sisi lain, calon-calon eksternal membutuhkan ‘partai’ sebagai kendaraan untuk maju sebagai calon. Kondisi itulah yang akhirnya menciptakan kompromi antara partai dan calon eksternal berupa ‘mahar’ politik.
“Tanpa punya kader mumpuni, parai akhirnya outsource dari luar. Akhirnya ada kompromi. Ini yang namanya politik dagang sapi. Akhirnya ada permintaan mahar,” kata dia.
Tentu saja mahar politik bukannya tanpa dampak. Mereka yang terpilih jelas tak bakal memprioritaskan kepentingan rakyat namun memikirkan bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan itu. Tentu saja ujungnya adalah perilaku koruptif dalam pemerintahan.
“Akhirnya jadi pragmatis. Bukan untuk kepentingan rakyat dulu, tapi bagaimana dia mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan. Ada kemungkinan untuk korupsi,” kata Cecep.[TGU]