Pada awal Juli 2017 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menduga, melemahnya daya beli masyarakat karena imbas dari pelemahan ekonomi pada 2014-2016, yakni melemahnya komoditas dan ekspor. Pernyataan Sri itu merupakan tanggapan atas keluhan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, yang mengungkapkan hampir semua perusahaan ritel mengeluhkan turunnya daya beli masyarakat. Tahun ini, menurut Hariyadi, daya beli masyarakat memang jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Diungkapkan Sri Mulyani, kontraksi yang dialami sektor pertambangan memengaruhi sektor lainnya mengalami puncaknya pada kuartal IV 2016. “Pemerintah akan melakukan belanja-belanja untuk sosial sehingga daya beli, terutama untuk 25 bahkan 40 persen masyarakat terbawah tetap terjaga,” katanya.

Ia juga mengatakan, hampir di seluruh dunia, produktivitas mengalami stagnasi dan ini memengaruhi kemampuan untuk meningkatkan daya beli melalui upah yang meningkat. Pemerintah, ungkap Sri, akan terus menggenjot investasi, terutama infrastruktur dan sumber daya manusia. Menurut dia, dua faktor itulah yang sangat menentukan peningkatan produktivitas. “Selain itu, reformasi kebijakan akan terus dilanjutkan di bawah koordinasi Menko untuk memperbaiki minat investasi,” ujarnya.

Namun, ekonom Rhenald Kasali meragukan daya beli masyarakat saat ini menurun. Menurut dia, yang terjadi sekarang adalah uang sedang berpindah (shifting) dari kalangan menengah ke atas ke ekonomi rakyat. “Dan para elit sekarang sedang sulit karena peran sebagai middleman mereka pudar akibat disruptive innovation [inovasi yang mengubah kebiasaan], lalu meneriakkan daya beli turun,” tutur Rhenald, 29 Juli 2017 lalu.

Contoh pun disodorkan Rhenald untuk memperkuat pendapatnya. Pertama: perusahaan logistik JNE, yang kini memiliki pangsa pasar (market share) di atas PT Pos dan semua perusahaan e-commerce menjalin kerja sama. Kondisi tersebut memaksa JNE untuk meningkatkan pelayanan, yang dalam beberapa bulan terakhir terus melakukan penambahan tenaga kerja sampai dengan 500 orang. “Tak banyak orang yang tahu bahwa konsumen dan pedagang beras di Kalimantan kini lebih banyak membeli beras dan minyak goreng via Tokopedia dari Surabaya, Lombok, Makasar, dan lain-lain. Juga tak banyak yang tahu bahwa angkutan kargo udara dari Solo naik pesat untuk pengiriman garmen dan barang-barang kerajinan. Juga dari kota-kota lainnya. Artinya, usaha kecil dan kerakyatan mulai diuntungkan,” katanya.

Kedua: retailer. Aprindo mengatakan, penjualan yang dicapai anggotanya pada semester pertama 2017 turun 20%. Kondisi tersebut mengikuti pola angkutan taksi yang sudah turun sekitar 30-40% pada tahun lalu. “Apakah karena daya beli? Bukan. Penyebabnya adalah shifting ke taksi online. Sama halnya ritel dan hotel yang beralih dari konvensional ke online. Artinya bukan daya beli drop, bukan juga karena keinginan membeli turun, melainkan terjadi shifting,” tutur Rhenald.

Ketiga: produsen fast moving consumer goods (FMCG), yang mengakui adanya kenaikan omzet 30-40%, mulai dari tepung terigu milik Bogasari sampai dengan produk obat-obatan milik Kalbe Farma. “Demand-nya masih naik pesat. Tetapi, produsen seperti Gulaku mengaku drop karena kebijakan harga eceran tertinggi yang mulai dikontrol pemerintah,” ujarnya.

Yang mengalamai penurunan, ungkap Rhenald, adalah grosir-grosir besar, yang biasa membayar kepada produsen mundur 45 hari hingga 3 bulan, di antaranya adalah supermarket besar yang biasa “mengerjai” usaha mikro, kecil, dan menengah dengan menunda pembayaran.  “Kini dengan munculnya dunia online, UMKM bisa langsung, maka supermarket besar kekurangan pasokan. Produsen besar juga menahan stoknya, lebih mengutamakan membuka jalur distribusi baru,” ungkapnya.