Iwa Kusuma Sumantri bersama tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia.

Koran Sulindo – Tak hanya memeriksa Muhammad Yamin yang dianggap sebagai tokoh kunci kudeta Peristiwa 3 Juli 1946, persidangan Mahkamah Tentara Agung juga menghadirkan Panglima Divisi III Mayjen R.P Sudarsono.

Jenderal inilah yang menerobos ke istana dengan truk lantas ‘menodong’ Presiden Sukarno dengan empat maklumat buatan Yamin.

Kepada hakim, Sudarsono mengaku langkah yang ditempuhnya merupakan perintah Panglima Besar Soedirman. Soedirman yang juga dihadirkan di persidangan membantah kesaksian itu membuat Sudarsono benar-benar terpojok karena tak bisa menunjukkan bukti tertulis apapun. Tentu saja, karena perintah itu memang disampaikan Soedirman secara lisan.

Tak hanya membantah di persidangan, Soedirman mengulang bantahan itu pada pidatonya yang emosional di radio. Ia bahkan menangis haru ketika membela diri.

“Dikabarkan saya akan merebut kekuasaan pemerintah dan menempatkan diri di singasana sebagai kepala negara. Berhubung desas desus itu, saya katakan kepada khalayak ramai bahwa saya tidak akan ke jurusan itu,” kata Soedirman.

Ia juga menyebut bakal menolak bahkan apabila ‘kursi’ itu disodorkan kepadanya.

“Camkan hal ini dalam hati sanubari saudara masing-masing, supaya saudara-saudara bebas dari fluistercampagne yang kini merajalela. Kami berdua, Paduka yang Mulia Presiden Soekarno dan saya, Panglima Besar Sudirman masing-masing telah bersumpah,” kata Soedirman.

Tentu Soedirman boleh berkelit, namun bagi mereka yang terlibat seperti Iwa Kusuma Sumantri, bantahan Jenderal Soedirman jelas tak masuk akal.

Meskipun dengan pengingkaran sang Jenderal, Iwa bisa memaklumi alasannya.  Menurutnya, di antara orang-orang yang bersimpati kepada Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, hanya Soedirman yang kedudukannya paling dilematis. Terutama karena ia memegang komando angkatan bersenjata yang secara formal harus mendukung pemerintah.

Bagaimanapun aksi bersih-bersih harus dilakukan sekaligus menyeret yang bertanggung jawab. Dari  800 tokoh dan simpatisan Persatuan Perjuangan yang ditangkap akhirnya 14 tokoh di didakwa dan disidang. Selain Iwa, mereka adalah Sudarsono, Yamin, Ahmad Subarjo, Sundoro Budyaarto Martoatmojo, Buntaran Martoatmojo, Sayuti Melik, dan Muhammad Saleh.

Merdeka 100 persen

Tak semua pelaku berhasil dibawa ke meja hijau, Pandu Kartawiguna, Adam Malik, dan Chaerul Saleh adalah di antara mereka yang lolos.

Dari tujuh orang yang diajukan ke persidangan, Sudarsono dan Yamin dijatuhi hukuman empat tahun penjara, Ahmad Subarjo tiga tahun, Budyarto Martoatmojo 3,6 tahun dan Buntaran dua tahun serta Muhammad Saleh 2,6 bulan. Sementara Iwa divonis tiga tahun, Soedirman bebas dan dinyatakan tidak bersalah.

Meski dekat dengan Soekarno dalam biografinya Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah: Otobiografi Prof. Mr. R.H. Iwa Kusuma Sumantri, Iwa mengakui tak terlalu cocok dengan sikap politik pemerintah kala itu. Ia merasa lebih dekat dengan perjuangan rakyat yang revolusioner seperti ide Persatuan Perjuangan. Iwa juga sangat menentang langkah Syahrir menjalankan politik kompromi dengan Belanda.

Soal prinsip ‘non-kooperasi’ sejak menuntut ilmu di negeri Belanda, Iwa adalah biangnya. Dimulai ketika memimpin Indische Vereeniging pada kurun 1923-1924, Iwa sudah menuntut kemerdekaan segera dan tanpa syarat dari Belanda.

Atas usul Iwa, di era kepemimpinan Dr Sukiman organisasi ini berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. PI melandaskan perjuangannya pada empat ide pokok yaitu kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan swadaya.

Mereka juga yang pada tahun 1925 menggagas Manifesto Politik yang dianggap lebih fundamental dibanding Sumpah Pemuda tahun 1928.

Di Eropa, seperti kebanyakan pelajar-pelajar Indonesia lainnya, meski hidup pas-pasan Iwa juga memanfaatkan liburan musim panasnya untuk berkeliling menambah wawasan. Dalam konteks inilah Iwa dan Semaun diberi mandat Perhimpunan Indonesia untuk berangkat ke Moskow selama 1,5 tahun untuk mempelajari ide Eenheidsfront atau front persatuan.

Front ini menggagas bagaimana merapatkan barisan internasional melawan penjajahan.

Pada periode singkat tinggal di Rusia ini, Iwa sempat menikah dengan Anna Ivanova seorang gadis Ukraina dan memiliki seorang putri. (Baca juga:Iwa Kusuma Sumantri, Buah Hati di Rusia)

Prinsip non-kooperasi itu yang dibawa pulang Iwa ke Tanah Air bulan November 1927. Meski mula-mula bekerja di Bandung, pamannya segera meminta Iwa pindah ke Medan untuk mendirikan kantor pengacara. Di kota inilah ia aktif dalam dunia pergerakan dengan membuat surat kabar Matahari Indonesia dan melakukan pembelaan kepada buruh dan tani yang tertindas.

Melalui korannya, Iwa terus mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui tulisan-tulisannya. Di Medan Iwa juga dipilih menjadi Penasihat Persatuan Sopir dan Pekerja Bengkel atau Persatuan Motoris Indonesia dan Ketua Perkumpulan Sekerja Opium Regie Bond luar Jawa dan Madura (ORBLOM) dan duduk sebagai penasihat pada organisasi kepanduan Indonesisch National Padvinders Organisatie atau INPO.

Hanya empat tahun di Medan, bulan Juli 1929 Iwa ditangkap Belanda atas tuduhan ‘berupaya menggulingkan kekuasaan yang sah’.

Disekap selama setahun di penjara Medan, ia lantas dipindah ke ke penjara Glodok dan penjara Struis-Wyck di Jakarta. Pemerintah akhirnya memutuskan Iwa dan keluarganya dibuang dan diasingkan ke Banda Neira.

Tiba di tempat pembuangan di sana sudah Cipto Mangunkusumo yang dibuang 1,5 tahun sebelumnya. Menyusul Iwa, berturut-turut kemudian Hatta dan Syahrir dikirim ke Bandaneira.

Masa 10 tahun 7 bulan sebagai tahanan politik di pulau itu diisi Iwa mempelajari bahasa Arab sekaligus memperdalam agama Islam dari sahabatnya, Syekh Abdullah bin Abdurakhman. Aktivitas itulah yang membantu Iwa dan keluarganya mengatasi penderitaan selama pembuangan. Dia juga menulis buku berjudul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah.

Masih dengan status tahanan politik, pada tahun 1941 pemerintah Hindia mengizinkan Iwa pindah ke Makassar dan mengajar di sekolah Taman Siswa.

Ketika Jepang menyerbu Makassar 8 Februari 1943, Iwa dan keluarganya diam-diam menyingkir ke luar kota. Namun, Jepang justru memintanya untuk membantu Nazamuddin Daeng Malea yang ditunjuk sebagai Wali Kota Makassar. Ketika keadaan kota berangsur-angsur membaik, Iwa berhenti membantu wali kota dan diangkat sebagai Kepala Pengadilan Makassar.

Menguping rencana Jepang yang akan menggelar pembersihan intelektual Indonesia di luar Jawa, Iwa merasa nasib keluarganya berada di ujung tanduk. Dengan empat orang anak dan istri yang tengah hamil besar, mereka nekat menumpang perahu Bugis kecil berlayar pulang ke Jawa.

Lima hari berlayar dari Makassar, keluarga itu akhirnya berlabuh di Surabaya. Dari sanalah, keluarga itu menuju kampung halaman Iwa di Ciamis.

Tak ada yang bisa dikerjakan di kampung halaman, Iwa mencari pekerjaan di Bandung dan ketika tak menemukannya pergi ke Jakarta dan bekerja sebagai advokat bersama A.A. Maramis.  Iwa diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada hari-hari menjelang proklamasi bersama tokoh-tokoh lain seperti Achmad Soebardjo, Iwa intens dalam penentuan  kemerdekaan Indonesia. Iwa jugalah yang mengusulkan perubahan sebutan dari maklumat menjadi proklamasi kemerdekaan.

Setelah Indonesia merdeka, Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan pada Kabinet RI pertama pimpinan Presiden Sukarno. Namun, Iwa segera beroposisi dengan Kabinet Syahrir, ketika pemerintah mulai bernegoisasi dengan Belanda. Pertentangan itu berpuncak Peristiwa 3 Juli 1946 tersebut.

Saat Belanda menduduki Kota Yogyakarta, Iwa ikut ditangkap bersama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan baru dibebaskan setelah perjanjian Roem-Royen.

Pada tahun 1949, Iwa bergabung dengan Partai Murba yang didirikan Tan Malaka pada 7 November 1948. Partai inilah yang menjadi penyokongnya ketika ia menjabat menteri pertahanan di era Kabinet Ali Wongso-Arifin yang dibentuk tahun 1953 di bawah pimpinan Perdana Menteri Mr Ali Sastroamijoyo.

Sebagai menteri pertahanan yang berasal dari golongan sipil, tugas Iwa bukanlah perkara mudah. Apalagi ia harus menghadapi beberapa pemberontakan seperti DI/TII di Aceh dan Jawa Barat. Meski menentang ide pemberontakan itu, namun Iwa juta tak sepakat dengan sikap pemerintah yang  terlalu ‘Jakarta sentris’.

Iwa sering dikait-kaitkan dengan cap sebagai salah tokoh komunis. Tuduhan ini jelas menggampangkan masalah hanya karena ia pernah belajar dan memiliki istri warga Rusia. Apalagi, adik perempuan Ivanova kawin dengan tokoh PKI, Semaoen.

Ketika pecah Gerakan 17 Oktober 1952 yang menuntut pembubaran parlemen oleh militer, Iwa lagi-lagi dituding sebagai komunis. Ia kembali menjadi sasaran tembak ketika nekat mengganti posisi-posisi penting di militer dengan perwira-perwira yang anti gerakan tersebut.

Menjernihkan persoalan, bahkan Presiden Soekarno sendiri yang harus menggelar rapat di Istana dengan mengundang sejumlah para petinggi militer. Kepada tentara, Soekarno berkata lantang, “Iwa seorang nasionalis-revolusioner!”. [TGU]