DALAM focus group discussion yang digelar IPA di Jakarta pada 29 Maret 2017 lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengakui, sekarang ini memang terjadi ketidakpastian di sektor hulu minyak dan gas Indonesia. Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah pergantian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berlangsung beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan adanya pergantian itu, beberapa keputusan penting terkait hulu migas menjadi tertunda. Efeknya: suatu keputusan penting sulit diambil. “Dalam waktu beberapa tahun Menteri ESDM ganti, itu menjadi salah satu faktor ketidakpastian,” katanya.

Kendati begitu, Suahasil menyatakan, Kementerian Keuangan sudah mencoba membuat industri migas bergairah. Caranya antara lain dengan memberikan pembebasan pajak bagi kontraktor migas saat melakukan kegiatan eksplorasi, misalnya pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan.

Pada acara yang sama, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengungkapkan pula, pemerintah menyadari salah satu faktor yang membuat iklim investasi hulu migas tidak menarik adalah persoalan perizinan. Itu sebabnya, Kementerian ESDM berencana memangkas izin agar investor mau menanamkan dananya di Indonesia.

Dikatakan Wiratmaja lagi, izin migas yang sebelumnya berjumlah 104 izin kini sudah menyusut menjadi 48 izin. Sebanyak 42 izin ada di Badan Koordinasi Penanaman Modal dan 6 izin di Kementerian ESDM. “Kami ingin dorong izin-izin di instansi lain dikurangi,” tuturnya.

Pemerintah juga akan membuka data migas kepada investor. Tujuannya: investor menjadi mudah melihat potensi wilayah kerja migas di Indonesia. Karena, potensi Indonesia masih cukup besar. Dari 100 cekungan di Indonesia yang mengandung hidrokarbon saja baru sekitar 30 cekungan yang dieksplorasi. Memang, potensi itu berada di daerah terpencil, yang membutuhkan dana cukup besar agar dapat dikembangkan.

Langkah lain untuk menarik  investor, pemerintah memperbesar tingkat pengembalian investasi (IRR), khususnya untuk blok yang ada di laut dalam. Sekarang ini, IRR laut dalam di Indonesia baru 12% sampai 20%, sementara di negara-negara lain di atas 30%.

Skema kontrak kerja sama migas menggunakan gross split ditawarkan pula oleh pemerintah ke calon investor. Dengan skema ini, kontraktor migas dapat menekan biaya operasi lebih efisien dan bisa memperoleh bagi hasil sesuai dengan variabel-variabel tertentu yang terdapat dalam wilayah operasi migasnya.

Sebelumnya, pada pertengahan September 2016 lalu, pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010. Namun, pihak IPA telah menyatakan keberatan atas beberapa poin yang direvisi. Bahkan, Marjolijn sempat mengatakan, revisi tersebut lebih buruk dari materi yang ada sebelum direvisi.

Kok bisa? Ada kepentingan terselubung atau memang pemerintah tak memahami masalah yang sebenarnya? [PUR]