ADA beberapa faktor yang membuat turunnya investasi migas di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini. Faktor-faktor itu, menurut Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong dalam kesempatan yang sama, antara lain turunnya harga minyak, periode penemuan hingga masa produksi (first oil) yang terbilang lama, rendahnya tingkat pengembalian investasi, dan rendahnya rasio keberhasilan eksplorasi. “Turunnya aktivitas migas juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah ikut turun. Ini sudah kondisi krisis, padahal peluang migasnya kami rasa masih besar,” tutur Marjolijn.
IPA pun berharap pemerintah proaktif, misalnya dengan memperbaiki paket regulasi dan kesepakatan terkait sektor minyak dan gas (fiscal regime) serta permudahan izin-izin migas. Upaya itu, lanjut Marjolijn, setidaknya bisa mempersingkat waktu first oil, sehingga investor masih tertarik menggarap sektor hulu migas di tengah lesunya harga minyak. “Saat ini masa eksplorasi hingga first oil kita lama sekali, bisa 13 hingga 15 tahun. Padahal, di negara lain bisa 3 hingga 5 tahun saja. Memang di seluruh dunia ada masalah penurunan harga, tapi semangat untuk berkompetisinya dong ditingkatkan,” katanya.
Memang, secara historis, investasi industri hulu migas berbanding lurus dengan harga minyak. Semakin tinggi harga minyak semakin banyak investasinya. Begitu juga sebaliknya
Pada Juni 2016 lalu, Kepala Bagian Humas SKK Migas Taslim Z. Yunus sudah mengatakan, hingga empat tahun ke depan ada 22 blok migas yang akan habis masa kontraknya. Mayoritas para kontraktor tersebut sudah mengurangi belanja modal dan kegiatan investasinya.
Salah satunya adalah Total E&P Indonesie. Pada tahun ini, Total juga mengurangi investasinya di Indonesia.
Ketika itu, Taslim sudah mengatakan kekhawatirannya, pengurangan investasi tersebut akan memengaruhi produksi minyak dan gas bumi secara nasional. Apalagi, kegiatan pengeboran dan pengerjaan ulang sumur sudah mulai berkurang.