Pilihan Pendapat Fatwa tentang Hukum Menyembelih Dam Fidyah di Luar Tanah Haram

Pendapat yang dipilih dalam fatwa adalah bahwa membolehkan penyembelihan fidyah di luar Tanah Haram lebih sesuai pada zaman kita sekarang demi menjaga tujuan-tujuan agama, serta lebih bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan kaum miskin secara umum, tanpa mengikatkannya pada tempat atau waktu tertentu.

Sebab, tujuan dari darah-darah ini (yakni hewan yang disembelih) adalah untuk bersedekah dan memberi makan dagingnya kepada orang-orang yang membutuhkan, mengenyangkan mereka yang lapar, serta membantu fakir miskin dan orang-orang yang kekurangan.

Hal ini sebagaimana isyarat dari firman Allah Ta‘ala:
> “Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan kepada orang yang rela dengan apa yang ada padanya dan kepada orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan hewan-hewan itu untukmu agar kamu bersyukur. Daging-daging dan darah-darah hewan kurban itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.”
(QS. al-Hajj: 36–37)

Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki dalam at-Tamhîd (2/240–241) menjelaskan dalil-dalil mazhab Maliki:
Penyembelihan fidyah dalam hal ini menurut Imam Malik adalah nusk (ibadah kurban), bukan hady (kurban yang wajib untuk haji). Nusk boleh dilakukan di mana saja, sedangkan hady hanya boleh di Mekkah.

Ia juga menjelaskan hadis dari Yaha bin Sa’id, dari Ya’qub bin Khalid al-Makhzumi, dari Abu Asma’ maula ‘Abdullah bin Ja’far, yang menceritakan bahwa ia bersama ‘Abdullah bin Ja’far—radhiyallahu ‘anhuma—keluar dari Madinah dan melewati al-Suqya, di mana mereka menjumpai Husain bin Ali sedang sakit. Ketika Husain mengisyaratkan kepalanya (agar dicukur), maka ‘Ali bin Abi Thalib mencukur rambutnya dan menyembelih unta sebagai nusk di tempat itu. Malik berkata: Husain keluar bersama Utsman dalam perjalanan menuju Mekkah.

Ini menjadi bukti bahwa penyembelihan fidyah karena gangguan diperbolehkan di luar Mekkah.

Imam Malik juga membolehkan daging hady yang disembelih di Tanah Haram diberikan kepada orang di luar Tanah Haram karena tujuannya adalah memberi makan orang-orang miskin. Dan sebagaimana puasa bisa dilakukan di luar Tanah Haram, maka demikian juga halnya dengan memberi makan.

Qadhi Isma’il juga meriwayatkan hadis Ali tentang pencukuran rambut Husain dan penyembelihan nusk di tempat itu, dan menyatakan: “Ini adalah dalil paling jelas dan paling sahih dalam bab ini, menunjukkan bolehnya menyembelih fidyah karena gangguan di luar Mekkah.”

Abu ‘Umar berkata: dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:

> “Dan jangan kamu mencukur kepalamu sampai hewan hady sampai ke tempat penyembelihannya.”
kemudian difirmankan:
“Barang siapa di antara kamu yang sakit atau mengalami gangguan di kepalanya, maka wajib membayar fidyah: dengan puasa, sedekah, atau menyembelih (hewan).”
(QS. al-Baqarah: 196)

Allah tidak menyebutkan tempat tertentu, maka tampak jelas bahwa penyembelihan itu sah dilakukan di mana saja. Nabi Muhammad SAW sendiri menyebut penyembelihan fidyah ini sebagai nusk, bukan hady. Maka, tidak bisa disamakan hukumnya dengan hady.

Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân (2/385–386) menetapkan hal ini dan menambahkan dalil lain: Nabi SAW saat memerintahkan Ka‘b radhiyallahu ‘anhu untuk membayar fidyah, itu dilakukan di luar Tanah Haram. Maka sah-sah saja fidyah dilakukan di luar Tanah Haram.

Kesimpulan

Berdasarkan hal tersebut dan terkait dengan kasus yang ditanyakan:
Jika seseorang diwajibkan menyembelih dam fidyah karena melakukan pelanggaran ihram atau meninggalkan salah satu kewajiban haji, maka diperbolehkan secara syar’i untuk menyembelihnya di luar Tanah Haram—baik di negerinya sendiri atau di tempat lain.

Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala Maha Mengetahui.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis