Koran Sulindo – Diera digital saat ini dinilai perlu komunikasi publik yang efektif tentang skema penjaminan simpanan, sehingga dapat menciptakan kepercayaan nasabah terhadap perbankan.
“Masalah asimetris informasi di era sekarang ini relatif bukan disebabkan karena tidak tersedianya informasi melainkan disebabkan oleh noise dan bias informasi pada informasi publik, terutama melalui media sosial,” kata anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Didik Madiyono, Kamis (18/3).
Oleh karena itu, komunikasi publik yang efektif tentang skema penjaminan simpanan kepada masyarakat menjadi sangat penting untuk menciptakan kepercayaan publik. Apalagi, berdasar survei OJK tahun 2019, literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain.
Oleh karena itu, lanjut Didik, sebagai langkah antisipatif LPS secara intensif terus menyosialisasikan mandat dan fungsinya, serta skema dan kebijakan penjaminan simpanan antara lain melalui, kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dengan insan media dalam berbagai bentuk edukasi masyarakat guna menjaga kepercayaan terhadap perbankan.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga memaparkan tentang pergeseran perilaku konsumen pada masa pandemi Covid-19 saat ini, yang lebih memilih berbagai layanan yang berbasis digital. Terbukti, situasi pandemi meningkatkan ketergantungan konsumen pada layanan berbasis digital. Pada hasil penelitian yang dilakukan Bank Dunia, Google, Temasek, dan Bain & Company menyebut fenomena ini sebagai “flight-to-digital”.
“Dengan perkembangan teknologi komputerisasi dan digitalisasi, model bisnis perbankan juga terus berkembang. Perkembangan teknologi ini akan mengarah pada perbankan yang lebih efisien, layanan pelanggan yang lebih baik, dan kontribusi yang lebih tinggi bagi perekonomian,” kata Didik.
Adapun, di Asia Tenggara, sekitar 1 dari 3 atau 36 persen konsumen yang menggunakan layanan digital merupakan konsumen baru selama pandemi. Sekitar 9 dari 10 konsumen yang menggunakan layanan digital baru akan terus menggunakan layanan tersebut di masa mendatang.
Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi setahun penuh yang negatif pada 2020 yaitu minus 2,07 persen (yoy), ekonomi berbasis internet Indonesia telah mampu tumbuh dua digit sebesar 11 persen dari Nilai Pasar Bruto pada 2020.
Meski hampir semua lini terdigitalisasi, Didik mengingatkan mengenai potensi risiko dan tantangan yang akan dihadapi, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Didik menjelaskan, menurut World Economic Forum Global Risks Perception Survey 2020, salah satu ancaman potensial dalam perkembangan digital ialah ketidaksetaraan digital (digital inequality). Menurut Didik, hal tersebut merupakan risiko dengan tingkat kemungkinan yang tinggi dalam sepuluh tahun ke depan, termasuk risiko keamanan siber.
“Dalam jangka panjang, kita perlu bersiap menghadapi dampak buruk teknologi. Oleh karena itu, perlu disiapkan rencana penanganan risiko yang memadai agar dapat meminimalkan dampak dari potensi risiko yang mungkin timbul tersebut,” ujar Didik. [Wis]