Koran Sulindo – Ada tren penurunan bunga kredit konsumsi pada akhir tahun lalu menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rata-rata suku bunga kredit konsumsi bank per Desember 2017 sebesar 12,66%, lebih rendah daripada November 2017 yang sebesar 12,78%. Biasanya, kredit konsumsi ini mengalir ke kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB), dan kredit tanpa agunan (KTA).
Diungkapkan Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Boedi Armanto, tren suku bunga rupiah sampai dengan sekarang ini masih turun. Tapi, tren ini bisa saja berubah saat suku bunga The Fed naik. “Jika suku bunga acuan The Fed naik, suku bunga acuan Bank Indonesia pasti naik juga. Akibatnya, suku bunga rupiah bisa naik, baik deposit maupun kredit,” kata Boedi, Jumat (2/3).
The Fed atau The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, memang telah memberi sinyal akan menaikkan bunga pada tahun ini, yang dibaca pasar bisa mencapai tiga-empat kali. Kenaikan bunga di Amerika Serikat bisa memicu kenaikan bunga di berbagai negara agar tidak terjadi arus dana keluar.
Itu sebabnya, tambah Boedi, OJK ragu suku bunga kredit konsumsi akan turun lagi pada tahun 2018, mengingat tren kenaikan The Fed Fund Rate. “Ini tentunya akan mengakibatkan suku bunga rupiah juga meningkat,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berada di level Rp13.700 hingga Rp13.800 per US$ 1 sudah masuk level undervalued atau telah keluar dari level fundamentalnya. “Rupiah ini sebelum fluktuasi memang sudah undervalued. Jadi, kalau ada fluktuasi beberapa hari terakhir, ya, memang sudah undervalued,” katanya di Jakarta, Jumat kemarin juga.
Pergerakan normal untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat adalah di kisaran Rp13.200-Rp 13.300 per US$ 1. Ketika nilai tukar rupiah mencapai Rp13.700, BI melakukan stabilisasi dengan langsung terjun ke pasar keuangan. “Itu level yang cocok ya. Jadi, kalau Rp 13.600 sampai Rp 13.700 menurut kami sudah agak overshoot. Makanya BI juga melakukan stabilisasi,” tuturnya.
Ditegaskan Mirza, BI akan selalu berada di pasar keuangan. Juga tidak segan-segan melakukan intervensi jika rupiah mengalami penurunan yang jauh dari nilai fundamentalnya. “BI akan selalu ada di pasar untuk stabilisasi,” katanya.
Namun, Mirza menilai, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ini bersifat sementara. Untuk itu tidak ada yang perlu dikhawatirkan masyarakat. Apalagi, negara-negara maju juga mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat. “Apa yang terjadi dua hari terakhir itu sih kami melihatnya suatu yang temporer saja,” ujar Mirza.
Pada kesempatan yang berbeda pula, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, nilai tukar rupiah yang melemah belakangan ini belum mengkhawatirkan. Karena, secara fundamental, ekonomi Indonesia tidak memiliki persoalan. Hanya, pidato Jerome Powell yang membuat pasar beranggapan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali, bahkan empat kali di tahun ini, menjadi pemicunya. “Powell ngomong begini, ngomong begitu, menaikkan empat kali, belum tentu sebenarnya, tetapi kan orang udah mulai pasang kuda-kuda. Nanti akan tenang lagi,” tutur Darmin, Jumat. Jerome Hayden Powell adalah Kepala The Fed.
Ditambahkan Darmin, persepsi di pasar ini juga bukan sesuatu yang akan membuat gejolak. “Memang ada pengaruh terhadap ekspektasi orang yang punya duit, tapi tidak akan melahirkan gejolak, mungkin akan naikkan 0,25 di sana. Ada pengaruhnya, tapi nanti reda lagi,” katanya. Kalau The Fed menaikkan suku bunga, lanjutnya, memang akan ada ada riak-riak sedikit, tapi bukan gejolak. [RAF/PUR]