Bung Karno percaya hubungan pribadi antar pemimpin berpengaruh pada pergaulan internasional. Ia pelopor Konferensi Asia-Afrika 1955 dan merasa jadi duta Gerakan Nonblok menghadapi Presiden AS Dwight Eisenhower (1953-1961), Sekjen PKUS Nikita Khrushchev (1953-1964), dan Ketua PKC Mao Zedong (1945-1976).
Setahun setelah KAA, ia diundang Eisenhower ke AS, September 1956. Setelah itu bertemu Mao di Beijing serta Khrushchev di Moskwa. Bung Karno (BK) marah ditelantarkan 10 menit sebelum diterima Eisenhower. Hubungan mereka buruk karena Eisenhower mendukung pemberontakan PRRI/Permesta dan memerintahkan CIA membunuh BK.
Hubungan pribadi BK dengan Mao atau Khrushchev hanyalah basa-basi. Mao malah sering mengundang Ketua Umum PKI DN Aidit ke Beijing, Khrushchev lebih tertarik menumpahkan senjata untuk TNI.
Setelah PRRI/Permesta, hubungan BK-Presiden John F Kennedy (1961-1963) amat akrab. Waktu di Washington DC tahun 1961, BK merasa cocok dengan JFK—beda dengan Eisenhower yang dianggap contoh ideal “the ugly America”.
JFK menghadiahi BK sebuah heli Sikorsky. Mereka bergosip tentang sex bomb seperti Gina Lollobrigida walau JFK sempat tersinggung saat BK menawari Jacqueline Kennedy berkunjung sendirian ke RI.
Tiga Besar enggan kehilangan RI karena nilai strategisnya sama dengan Indochina. Asumsi JFK, kehadiran pangkalan komunis di Jawa-Sumatera melemahkan kekuatan pakta militer SEATO (Southeast Asia Treaty Organization).
RI yang pro-Soviet atau China akan mengisolir Australia-Selandia Baru dari pengawasan Barat. Soviet dan China mengincar RI lewat strategi “Lompat Katak”: lebih mudah mengomuniskan Daratan Asia Tenggara jika RI ada di bawah pengaruh satelit mereka. Siapa pun yang menguasai RI mengontrol Samudra India dan Pasifik. RI ibarat kolam renang besar dengan air susu yang digemari tua-muda.
Hubungan China-Soviet terganggu setelah Khrushchev menyepakati peaceful coexitence dengan AS. Mao tersinggung kepada BK yang mengusir warga stateless China tahun 1959-1960.
Sebagian dari senjata Soviet yang komitmennya akan mencapai lebih dari semiliar dollar AS merupakan sejumlah rudal darat-ke-darat yang bernama Kuba. Peralatan militer dari Soviet itulah yang digunakan TNI untuk menyerbu ke Semenanjung Malaysia saat puncak Konfrontasi tahun 1964.
China tak mau kalah. Mao berjanji mengalihkan teknologi senjata nuklir jika China diizinkan melakukan uji coba senjata nuklir di bawah laut di wilayah perairan sekitar Irian Barat atau di sekitar Pulau Mentawai.
Giliran JFK yang tak mau ketinggalan langkah. Lewat program Atom for Peace, ia meminjamkan 2,3 kg uranium untuk pengembangan reaktor nuklir milik ITB di Bandung. Pada tahun 1965 reaktor yang bertujuan damai itu sudah operasional sampai 25 persen.
JFK bermaksud BK boleh mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan perdamaian. Reaktor itu secara rutin diperiksa IAEA, tetapi BK ditengarai mempunyai agenda tersembunyi ingin menjadikan RI going nuclear alias menjadi negara bersenjata nuklir.
Sejak 1964, BK rajin menyuplai berbagai jenis senjata ke sejumlah negara Afrika yang memerangi rezim-rezim antek bekas negara-negara penjajah. Di daerah Kemayoran ada Jalan Patrice Lumumba, PM Kongo yang juga pejuang antikolonialisme Belgia yang dikudeta rekannya sendiri tahun 1960.
BK mengundang latihan serdadu yang datang dari Korea Utara, Vietcong (Vietnam Utara), maupun Laos yang beruntung mendapatkan keahlian tempur dari TNI. Pilot-pilot dari Kamboja dan Burma berlatih menerbangkan pesawat tempur buatan Soviet, MiG-17, di sini.
Tahun 1965 RI menyuplai berbagai jenis MiG dan kapal-kapal perang untuk Pakistan yang ketika itu terlibat perang melawan India. BK memilih Pakistan karena ia berencana merekrut negeri Islam itu untuk bergabung ke poros Jakarta-Hanoi-Beijing-Pyongyang.
Nah, satu-satunya pemimpin Barat yang prihatin menyaksikan BK dan selalu mengulurkan tangan adalah JFK. Ia beberapa kali menekan Inggris untuk mengalah dari BK, terutama dalam soal rencana Inggris mendirikan pangkalan militer di Singapura.
JFK berkali-kali “menginjak kaki” Belanda dalam perundingan mengenai Irian Barat. Bekas penjajah ini sejak 1945 jadi “tukang nébéng” yang tak rela meninggalkan RI yang kaya raya.
Dua bekas jajahan Inggris, Malaysia dan Singapura, sejak dulu mau ambil untung dari RI. Seperti kata pepatah, “Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri”.
Setelah JFK tewas, Presiden Lyndon Johnson (1963-1969) melonggarkan komitmen. Ia mengurangi keterlibatan karena berbagai alasan, terutama sukarnya menghindari risiko RI jadi komunis.
Ilmuwan Guy Paker dan Henry Brands dan mantan Kepala Stasiun CIA di Jakarta Hugh Tovar membantah AS mendalangi peristiwa G30S. Walau senang PKI ditumpas, mereka kaget Orde Baru membantai ratusan ribu korban tak bersalah.
Bulu kuduk media massa AS merinding melihat amok massa itu. Partai komunis, sosialis, dan liberal di AS idem ditto.
BK memikul beban berat mengatur bangsa yang perangainya unmanageable ini. Andai ia yakin pada demokrasi dan keberagaman, dua ciri utama kedua bangsa, nasib dia bisa berbeda.
Telah terbukti AS sekutu demokratis yang terbaik, bahkan dalam menghadapi musuh-musuh dalam selimut yang masih berkeliaran. Pelajaran terpenting: tak perlu tiap sebentar histeris meneriakkan slogan anti-Amerika.
==