Kasat Intel Polresta Tangerang memukul aktivis buruh GSBI pada 9 April 2017 [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Selepas pembubaran paksa dan pemukulan terhadap aktivis Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Tangerang, aparat kepolisian masih terus melakukan aksi intimidasi. Kali ini mereka mendatangi sekretariat GSBI Tangerang dan menekan ketua Rukun Tetangga (RT) untuk mengusir keberadaan mereka.

Sekjen GSBI Emelia Yanti Siahaan yang menjadi korban pemukulan Kasat Intel Kepolisian Resort Kota (Polresta) Tangerang Danu W. Subroto mendapatkan informasi itu setibanya di sekretariat GSBI Tangerang pada Kamis (13/4). Untuk memverifikasi informasi tersebut, beberapa aktivis GSBI lantas mendatangi rumah ketua RT dan menanyakan kebenaran informasi tersebut.

Ketua RT bercerita, aparat kepolisian dari Polsek Jati, Tangerang sebelumnya mendatanginya dan menanyakan keberadaan sekretariat GSBI. Kepada RT, polisi mengatakan, sebaiknya rumah tinggal tidak dijadikan untuk aktivitas lain. Hasil pertemuan dengan polisi itu, ketua RT lalu menyampaikannya kepada pemilik rumah agar tak lagi memperpanjang sewa kepada GSBI.

Seperti yang dituliskan Yanti di dinding Facebook-nya, Kokom Komalawati, salah satu aktivis GSBI Tangerang pada Kamis (13/4) akan menyampaikan protes kepada Kepala Polresta Tangerang Harry Kurniawan tentang perilaku anak buahnya yang mengintimidasi itu. Ini mirip cara-cara Orde Baru yang seringkali membungkam suara rakyat ketika memperjuangkan hak-haknya.

Sementara itu, sebagai perkembangan kasusnya, Yanti telah melaporkan Kasat Intel Polresta Tangerang Danu ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan tindak pidana penganiayaan. Laporan tersebut tidak semata-mata untuk pribadinya dan GSBI, tapi untuk rakyat Indonesia yang selama ini acap menjadi korban kekerasan aparat kepolisian.

Yanti karena itu berharap agar semua pihak bersama-sama mengawal proses hukum itu. Dengan demikian, bisa memberi efek jera kepada aparat kepolisian secara individual dan juga lembaga kepolisian.

Awal Peristiwa
Peristiwa pemukulan itu bermula dari ketika polisi dan Satpol PP merampas poster-poster yang dibawa massa aksi untuk berdemonstrasi pada Minggu (9/4). Aksi buruh yang menjadi korban PT Panarub Dwi Karya rutin dilakukan setiap pekan. Pasalnya, perusahaan pembuat sepatu Adidas dan Mizuno itu tidak mau memenuhi hak-hak 1.300 buruh yang dipecat secara sepihak.

Padahal, lembaga perburuhan internasional (ILO) telah merekomendasikan agar negara dan perusahaan memenuhi hak-hak para buruh. Negara baik melalui pemerintahan tingkat daerah maupun pusat justru diam dan sama sekali tak berbuat apapun terhadap PT Panarub Dwi Karya.

Buruh tak patah semangat. Mereka tetap mengadakan demonstrasi setiap pekan dan mungkin ini yang membuat pemerintah kota Tangerang menjadi gerah. Apalagi tahun pemilihan kepala daerah semakin dekat. Meski aksi buruh telah berjalan tahunan, tiba-tiba muncul aturan Peraturan Wali Kota yang melarang aksi pada Sabtu dan Minggu. Aturan yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang Undang tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Tahun 1998.

Melihat aksi aparat tersebut, Yanti yang menjadi bagian dari massa aksi menghampiri polisi dan Satpol PP serta mempertanyakan perampasan poster-poster tersebut. Sempat terjadi perdebatan. Bukan jawaban yang diperoleh Yanti, ia justru mendapat pemukulan yang kemudian terekam dalam video.

Yanti tentu saja tidak mau diam dan menolak aksi kekerasan itu. Selain pemukulan, Yanti dan massa aksi juga mendapat pelecehan dari aparat berupa makian. Aparat menyebut mereka sebagai goblok, bacot dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Aksi kekerasan Danu dan Satpol PP itu menuai kecaman dari berbagai pihak. Yanti yang didampingi bebagai organisasi sipil kemudian melaporkan sikap Danu secara pidana dan etika ke Mabes Polri. [KRG]