Koran Sulindo – Selain karena biayanya yang fantastis, pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Bali pada tahun ini dibayang-bayangi rentetan aksi terorisme dalam beberapa waktu terakhir. Meski demikian, pertemuan tahunan dua lembaga keuangan di bawah kendali Amerika Serikat (AS) itu dipastikan tetap terlaksana sehingga persiapannya pun dimatangkan terutama dari aspek keamanan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, panitia pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia akan meningkatkan aspek keamanan baik sebelum maupun selama penyelenggaraan pertemuan tahunan itu berlangsung. Juga akan mengevaluasi berbagai bentuk kemungkinan serangan atau teror. Kemudian dari sisi penganggaran, panitia telah menetapkan sekitar Rp 855,5 miliar untuk penyelenggaran pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia.
Panitia pertemuan tahunan itu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, persiapan pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia telah mencapai 75 persen. Persiapan itu meliputi sarana transportasi, hotel, venue hingga mitigasi bencana alam seperti gempa, erupsi gunung berapi dan tsunami. “Semuanya sudah disiapkan,” kata Luhut seperti dikutip metrotvnews.com pada pertengahan bulan ini.
Dari semua penjelasan dan persiapan itu, yang kerap terlupakan adalah apa sesungguhnya agenda utama pertemuan IMF dan Bank Dunia di Indonesia? Pemerintah tampaknya belum pernah sekalipun menjelaskan agenda pertemuan tersebut. Penjelasan mengenai agenda pertemuan kedua lembaga tersebut hanya mengenai hal-hal umum seperti menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan global dan membahas perkembangan ekonomi digital serta mata uang digital yang dinilai masih menciptakan kontroversi.
Memang tidak mudah mengenali dan mengidentifikasi apa sesungguhnya agenda utama pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia untuk negara-negara seperti Indonesia. Akan tetapi, merujuk kepada sebuah tulisan berjudul The Hijacking of Global Financial Governance? yang dimuat sebuah laman Heinrich Boll Stiftung berbasis Amerika Utara menjelaskan, kelompok G20 dan Eminent Persons Group (EPG) yang ditunjuk pejabat G20 untuk Tata Kelola Keuangan Global (GFG) pada tahun lalu merekomendasikan reformasi praktis untuk meningkatkan fungsi arsitektur keuangan global dan pemerintahan sehingga pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dapat terjaga.
Pejabat G20 dan EPG bertemu dengan konstituennya pada musim semi tahun lalu dan membahas rancangan rekomendasi soal tata kelola keuangan global itu. Saat ini bentuknya masih kerangka acuan dan laporan sementara. Sedangkan laporan akhir dan rekomendasinya (pelaksanaannya tiga hingga lima tahun) akan diserahkan pada pertemuan Menteri Keuangan G20 dan gubernur bank sentral yang digelar secara bersamaan dengan pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali pada Oktober 2018.
Dalam tulisan itu disebutkan, Grup Bank Dunia telah mengadakan reformasi yang disebut sebagai memaksimalkan pembiayaan untuk pembangunan (Maximizing Finance for Development/MFD). Dan berdasarkan pertemuan 21 April 2018, Bank Dunia telah terikat dalam perjanjian untuk mendorong peningkatan modal untuk lembaga yang secara resmi akan disetujui pada pertemuan tahunan pada Oktober nanti. Dalam pertemuan 21 April itu, para pemegang saham Grup Bank Dunia telah menetapkan paket peningkatan modal sebesar US$ 13 miliar.
Dari jumlah itu, sekitar US$ 7,5 miliar disetor ke Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) dan sekitar US$ 5,5 miliar diberikan untuk modal International Finance Corporation (IFC). Juga menetapkan peningkatan modal IBRD hingga maksimal US$ 52,6 miliar. Dari peningkatan modal dan berbagai perubahan serta reformasi operasional tersebut tujuannya: membuat Bank Dunia semakin kuat.
Privatisasi
Poin penting dari perjanjian itu bisa dirangkum dalam tiga bagian. Pertama, memberikan kewenangan lebih besar kepada kelompok G20 untuk mengendalikan pembiayaan pembangunan. Kemudian, perjanjian itu juga mempromosikan privatisasi atau Kemitraan Pemerintah Swasta (PPP) yang tidak memedulikan pembangunan berkelanjutan dan lingkungan. Terakhir, memastikan keuntungan dari proyek yang dibiayai itu bisa menjadi aset yang akan diperdagangkan di pasar keuangan.
Lewat skema PPP, maka tidak akan ada lagi hambatan untuk mendapatkan keuntungan dari proyek negara atau badan usaha milik negara (BUMN) yang diperdagangkan di pasar keuangan. Lewat skema tersebut, G20 dan lembaga keuangan internasional justru akan merusak kepercayaan publik karena semata-mata mengutamakan keuntungan atau perputaran keuangan.
Grup Bank Dunia telah menetapkan pendekatan MFD pada Maret 2018. Visinya hingga 2030 menargetkan peran pembiayaan G20 dan Bank Pembangunan Multilateral (MDB) secara kolektif antara 25 persen hingga 35 persen dalam setiap periode tiga tahunan. G20 akan mengukur kinerja MDB sejauh mana lembaga tersebut memanfaatkan investasi swasta. Dan MDB akan mengukur kinerja negara-negara yang mendapatkan pinjaman seefektif apa mereka memanfaatkan investasi swasta.
Proyek percontohan memaksimalkan pembiayaan pembangunan (MFD) meliputi sembilan negara yaitu Kamerun, Pantai Gading, Mesir, Indonesia, Irak, Yordania, Kenya, Nepal dan Vietnam. Proyek percontohan MFD ini merupakan keterlibatan swasta dalam sektor energi, transportasi dan infrastruktur. Di masa mendatang – kendati Grup Bank Dunia awalnya fokus pada infrastruktur – proyek MFD ini juga akan terlibat di sektor kesehatan, pendidikan, keuangan dan pertanian kecil serta menengah.
Tujuan akhir dari semua skema itu berdasarkan tulisan tersebut adalah mempromosikan upaya untuk menghilangkan sebagian besar hambatan atau dengan kata lain efisiensi biaya transaksi yang selama ini dinilai menghambat arus perdagangan modal. Ini disebut sebagai upaya hyperglobalization. Pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali itu hanya peresmian dari agenda yang tidak saja melibatkan kedua lembaga melainkan juga PBB. Dan Indonesia dalam pertemuan tersebut merupakan percontohan dari skema hyperglobalization itu! [Kristian Ginting]