Hamka (sebelah kiri) bersama Bung Karno (sebelah kanan) [Foto: Istimewa]

MINGGU pagi, 21 Juni 1970 itu, Buya Hamka sedang berdakwah di sebuah mesjid di kawasan Tomang, Jakarta, ketika Haji Abdulkarim Oei (Oei Tjeng Hin)—salah seorang sahabatnya yang juga sahabat lama Soekarno—membisikkan bahwa Bung Karno telah wafat. “Innalilahi wainna ilahi rojiun… Tidaklah salah jika saat demikian saya ingat Soekarno yang dahulu, yang ikhlas dan bersih. Itulah yang yang akan disemayamkan secara kenegaraan,” tulis Hamka di majalah Pandji Masjarakat, No. 59 tahun 1970.

Seusai berdakwah, Hamka bergegas pulang ke rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, tak jauh dari Mesjid Agung Al-Azhar. Dari seorang putranya, ia mendapat kabar bahwa pihak Istana Presiden telah menelpon agar Hamka menjadi imam shalat jenasah Bung Karno yang akan digelar malam hari itu juga, di Wisma Yaso. Hal itu didasarkan permintaan Bung Karno sendiri, sebelum ia menghembuskan nafas terakhir.

“Suatu keajaiban Ilahi! Keinginan saya hendak turut menyembahyangkan sesuai dengan keinginan presiden, bahkan beliau minta saya jadi imam. Saya puas, saya jadi imam menyembahyangkan sahabatku!!” tulis Hamka lagi.

Masih dalam tulisan yang sama, berjudul Kepada Sahabatku, Ir. Soekarno, Hamka menuturkan: “Soekarno adalah orang besar…..Sejak masa mudanya, usia 18 tahun dia telah ditumbuhkan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran bangsanya, melanjutkan apa yang telah dimulai gurunya: HOS Tjokroaminoto. Seluruh kasih-sayangnya dan hari mudanya dan masa tuanya, telah dikorbankannya untuk membina bangsa ini. Dia telah menggembleng semangat kita dan membina kesatuan kita.”

Sejak muda, Hamka telah banyak mendengar sepak-terjang Bung Karno dalam pergerakan kebangsaan. Dalam majalah yang diasuhnya di tahun 1930-an, Pedoman Masjarakat, yang terbit di Medan, Hamka kerap menampilkan ketokohan Soekarno dan kalangan nasionalis pergerakan. Bahkan, ia pernah menemui Bung Karno di Bengkulu untuk bertukar pikiran tentang soal kebangsaan. Persahabatan itu berlanjut hingga masa-masa awal kemerdekaan.

Tetapi, seiring waktu, karena perbedaan sikap politik, mereka kian lama kian berjarak. Di tahun 1950-an, Hamka terjun lagi ke kancah politik. Ia bergabung dengan Masjumi dan menjadi anggota Konstituante. Ia terlibat dalam debat-debat keras di Konstituante, terutama mengenai dasar filosofis negara. Haruskah Pancasila menjadi tetap menjadi dasar filosofis negara?

Hamka, sesuai dengan sikap politik Masjumi, berargumen bahwa seharusnya tidak. “Dasar yang asli di tanah air kita… dan pribadi sejati bangsa Indonesia adalah Islam,” katanya, seperti dicatat James Rush dalam kitab Adicerita Hamka (2017). Bertentangan dengan klaim Soekarno bahwa Pancasila sudah ada di antara bangsa Indonesia ribuan tahun lalu (kemudian digali Bung Karno pada masa pergerakan), Hamka berkata bahwa “Pancasila tidak mempunyai dasar sejarah di Indonesia”.

Pada waktu Proklamasi, kata Hamka lagi, hanya sedikit yang tahu mengenai Pancasila, sementara “sebahagian besar penduduk Indonesia menganut ‘dasar yang asli’, yaitu Islam”. Islam menggerakkan perjuangan melawan Belanda dan mengilhami para pejuang revolusi.

Ketika akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Konstituante– karena tak kunjung menemukan titik-temu dalam menentukan dasar negara–  Hamka, juga para pemimpin Masjumi, menentang keras keputusan presiden tersebut. Tapi, ketika para pemimpin Masjumi— antara lain: Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap —  bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Hamka justru tidak mendukung gerakan tersebut.