Ilustrasi

Koran Sulindo –  Di seluruh dunia, kasus kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) selama 50 tahun terakhir mengalami peningkatan hingga 30 kali lipat. Di Asia-Pasifik saja, menurut catatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, ada 15,2 juta kasus DBD yang tercatat sepanjang tahun 2016. Dari jumlah kasus itu, 202.314 kasus, yang 1.593 di antarnya menyebabkan kematian, terjadi di Indonesia.

Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan, kasus penyakit endemik yang ditularkan oleh nyamuk itu di Indonesia berkisar 25 kasus per 100.000 penduduk. Pada tahun 2017, ada 126 pasien meninggal dari total 12.600 penderita. Sebagian besar kasusnya terjadi di Pulau Jawa, sebagian Pulau Sumatera, dan Papua. Biasanya, kasus DBD cenderung meningkat dengan datangnya musim hujan.

Prihatin dengan realitas tersebut, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Irvan Faizal, Ph.D., melakukan riset untuk menciptakan alat yang bisa mendeteksi penyakit mematikan itu lebih awal. Alat itu berhasil ia ciptakan dan rencananya akan mulai diproduksi dan dipasarkan pada April 2019 mendatang.

Alat ciptaann ahli bioteknologi molekular lulusan universitas di Jepang ini bukan hanya praktis, tapi juga akan dijual dengan harga yang relatif murah. Bentuk alat ini mirip alat tes pendeteksi kehamilan atau sering disebut test pack. Caranya kerjanya pun mirip. Namun, bila test pack menggunakan urine sebagai media, alat ciptaan Irvan ini spesimennya adalah darah.

Ia menyebut nama alatnya itu Kit Diagnostik DBD. Cara pemakaiannya: pasien diambil darahnya, lalu darah itu diteteskan atau diletakkan ke alat deteksi dalam posisi datar.

“Harus diletakkan mendatar agar darah mengalir pelan. Kalau alatnya berdiri, darahnya cepat mengalir sehingga mengurangi keakuratan deteksi,” kata Irvan di Semarang, awal Januari 2019 lalu, sebagaimana dikutip dari jpnn.com.

Bila pasien positif DBD akan terlihat dua garis merah yang muncul pada alat deteksi. Bila hanya satu garis merah, tandanya pasien itu negatif.

Hebatnya, alat deteksi ini bisa mengetahui apakah seseorang positif atau negatif DBD dalam waktu lima jam setelah digigit nyamuk. Bagi yang tidak tahu kena gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau tidak, tes bisa dilakukan saat penderita mengalami demam. Dan, tak perlu menunggu demam di atas tiga hari. Begitu demam sehari bisa langsung dideteksi.

“Alat ini lebih efektif dipakai sehari atau dua hari demam. Kalau demam tidak turun-turun meski sudah minum obat penurun panas, langsung gunakan alatnya,” tutur Irvan.

Irvan sengaja membuat alat ini agar dapat mendeteksi DBD sejak dini. Karena, memang, banyak orang yang terlambat menyadari bila dirinya atau keluarganya terjangkiti DBD. Pasien banyak yang datang di masa kritis, karena deteksi DBD yang digunakan dunia kedokteran selama ini hanya bisa mendeteksi setelah demam lebih dari tiga hari. Padahal, menurut Irvan, deteksi di atas tiga hari terlalu lama.

Diklaim Irvan, alat deteksi DBD yang ia ciptakan memiliki tingkat akurasi 98%. Karena, alat ini disiapkan dengan menggunakan virus-virus nyamuk Aedes Aegypti dari seluruh Indonesia. “Virus nyamuk dari Sabang sampai Merauke ini diambil kemudian dibuat anti-DNA. Setelah itu dimasukkan ke dalam mikroba yang menghasilkan anti-DNA,” kata Irvan.

Waktu penelitian yang dihabiskan Irvan untuk menciptakan alat ini sekitar tiga tahun. Seiring dengan itu, ia berhasil meneliti antibodi untuk penderita DBD, yang diberi nama IgG/IgM, yang dapat digunakan setelah pasien mengalami lima hari demam.

Menurut Irvan, dengan menggunakan alat yang ia ciptakan, angka kematian karena DBD bisa dikurangi. “Kit Diagnostik DBD berbasis teknik imunokromatografi dengan menggunakan anti-NS1 mAb [antibodi monoklonal] bisa mendeteksi dalam waktu dua sampai 10 menit. Harganya pun murah, tidak sampai Rp 50 ribu,” ujarnya.

Biasanya, uji laboratorium digunakan untuk mengonfirmasi infeksi DBD. Uji tersebut dilakukan dengan melakukan isolasi virus dalam kultur sel, identifikasi asam nukleat atau antigen, serta deteksi antibodi spesifik terhadap virus. Biayanya pun relatif mahal, bisa mencapai jutaan rupiah.

Diakui Irvan, di luar negeri sudah ada alat yang hampir serupa dengan alat ciptaannya. “Cuma tidak seakurat temuan kami karena kami menggunakan bahan baku lokal,” katanya.