Pelukis S. Sudjojono, pembawa aliran senirupa modern Indonesia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Suatu hari, setelah mengikuti kursus kilat Taman Siswa selama enam bulan, S.Sudjojono dipanggil Ki Hadjar Dewantara. “Sudjojono, kamu bekerjalah”, kata Ki Hadjar singkat. Maka, dengan bekal dua kata itu, Sudjojono pun memutuskan bekerja di tengah rakyat.

Pilihannya adalah menjadi guru di Rogojampi, sebuah kota kecamatan di Banyuwangi. Taman Siswa membuka sekolah dasar baru di Rogojampi. Laporan pendaftaran di sekolah baru itu menunjukkan 90 murid. “Tapi, ketika saya buka sekolah itu di pagi yang panas, terletak di pinggir sebuah pasar besar, maka terbukti saya hanya menghadai tujuh orang anak. Meskipun hanya tujuh orang anak untuk kelas sekolah rakyat, ruangan itu kecil itu sudah terlalu sempit dan panas,” tulis Sudjojono, dalam otobiografinya berjudul Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya, yang terbit awal Juni lalu.

Selama dua tahun lebih, Sudjojono kemudian menceburkan diri di tengah kehidupan rakyat Rogojampi. Tak hanya sebagai guru, ia menyelami seluk-beluk kehidupan sehari-hari masyarakat kota kecil itu: melatih tim sepak-bola, bergaul dengan para pedagang di pasar, berteman dengan para jagoan setempat, bahkan hampir saban malam menemani Pak W, seorang pedagang batik kaya-raya, menghisap candu sambil mengobrol. “Isap candu sambil mengobrol lebih nikmat daripada isap sendirian terus-terusan,” kenang Sudjojono.

Di Rogojampi pula gelora kebangsaan Sudjojono makin membara. Meski bacaannya terbatas—Fikiran Rakyat (majalah yang diterbitkan Bung Karno dan kawan-kawan) serta beberapa koran terbitan Yogyakarta dan Surabaya—sudah cukup memenuhi keingintahuan Sudjojono tentang banyak soal kehidupan. “Apalagi kalau saya membaca Indonesia Klaagt Aan (Indonesia Menggugat) dan Als ik eens Nederland was (Kalau Saya Seorang Belanda), maka hati saya berhari-hari gembira sebab seakan-akan masalah terasa sudah terjawab dan hasil perjuangan sudah tidak jauh lagi. Sebab tulisan-tulisan pemuka-pemuka kita macam Bung Karno, Ki Hadjar Dewantara, Hatta, dan lain-lain buat saya tidak teori lagi, tetapi barang yang konkret,” tegas Sudjojono.

Profesi sebagai guru tidak ujug-ujug dilakoni Sudjojono. Beberapa tahun sebelumnya, ia menempuh pendidikan di Sekolah Guru “Goenoeng Sari” di Lembang. Sekolah guru ini didirikan oleh kalangan teosofi yang bermukim di Bandung dan sekitarnya.Pengajarnya kebanyakan orang Belanda, tapi ada juga orang Indonesia—salah seorang diantaranya, Sanusi Pane, sastrawan terkemuka Indonesia di masa itu. Seperti ditulis Sudjojono: “Tujuan utama dari sekolah Goenoeng Sari tidak hanya menjadikan seorang ahli mengajar tok, tapi juga menjadi seorang pendidik, seorang pedagog, seorang guru.”

Yang paling berkesan bagi Sudjojono adalah cara mendidik suami-istri Corporaal, direktur sekolah. “Meskipun pemerintah Hindia-Belanda tidak setuju dengan sistem Dalton yang dipakai sekolah modern ini, tapi Tuan Corporaal dalam mempertahankan sistemnya terhadap serangan orang-orang Komisi Pendidikan dan Agama Hindia-Belanda,” tulis Sudjojono lagi.

Bermula dari Dongeng Tasmu
Sindudarsono Sudjojono lahir di Kisaran, tahun 1913. Ayah-ibunya, Sindoedarmo dan Maridjem, bekas kuli kontrak di perkebunan tembakau di Deli. Ayahnya kemudian menjadi seorang juru-rawat di klinik penjara di Tebing-Tinggi, tak jauh dari kota Medan. Di seputar klinik penjara inilah masa kecil Sudjojono berputar.

Salah satu memori yang diingat Sudjojono adalah pengalamannya dengan Tasmu, seorang tahanan yang sering “berkunjung” ke klinik. Hampir setiap malam Tasmu mendongeng tentang berbagai hal, termasuk tentang Raden Saleh, pelukis Indonesia yang terkenal di abad 19. “Cara Tasmu menceritakan tentang Raden Saleh begitu bagus dan fantasinya begitu cemerlang, sampai Raden Saleh dijadikannya suatu dongeng bersambung yang mengasyikkan seorang anak kelas tiga sekolah dasar (HIS Tebing Tinggi) seperti saya. Saya tak pernah tanya, hanya mendengarkan Tasmu yang omong bermalam-malam,” kenang Sudjojono.

Ketika naik kelas lima, sekitar tahun 1925, Sudjojono ngenger dengan keluarga guru sekolahnya, Marsoehi Yudhokusumo. Sedangkan ayahnya, Sindoedarmo, dipindah tugaskan bekerja di Lembaga Eijkman, di Batavia.

Awal tahun 1926, Yudhokusumo juga pindah ke Batavia, bekerja sebagai Ardjoena School di kawasan Petodjo. Sudjojono ikut bapak angkatnya tersebut. Di Batavia, ia tetap ngenger dan meneruskan sekolah di Ardjoena Scholl, hingga menamatkan sekolah dasar.

Di Ardjoena School inilah Sudjojono bertemu dengan P.Post, salah saorang guru di sekolah tersebut. “Guru ini orang Belanda yang luar biasa,” tulis Sudjojono. Post sangat memperhatikan kemajuan belajar Sudjojono. Bahkan, dia pula yang mempengaruhi perkumpulan Theosofie untuk memberi tunjangan kepada Sudjojono ke sekolah Goenoeng Sari. Begitu tahu bakat melukis Sudjojono, Post juga yang membayari Sudjojono belajar melukis selama tiga bulan kepada Mas Pirngadie, seorang pelukis terkemuka di Batavia masa itu.

Meski sekolahnya di Goenoeng Sari tidak selesai, tekad Sudjojono menjadi pendidik terus menyala. Karena itu, ia kemudian bergabung dengan Taman Siswa di Yogyakarta, lantas ditugaskan memimpin sekolah Taman Siswa di Rogojampi. Sudjojono hanya dua tahun di Rogojampi, lantas kembali ke Batavia. Ketika ia tinggalkan, Sekolah Taman Siswa Rogojampi sudah punya cukup murid (22 orang) untuk jalan terus.

Di Batavia, Sudjojono bekerja serabutan. Ia sempat kursus montir. Tapi, pekerjaan yang paling banyak terkait membuat gambar: lucon bergambar (karikatur) untuk Balai Pustaka, melukis papan reklame, dan menjadi guide pelukis Jepang terkenal—Ch. Yazaki—yang sedang berkeliling di Indonesia selama tiga bulan. “Harga diri sebagai pelukis mulai berkembang, ditengah-tengah mode pikiran bangsa kita pada waktu itu yang hanya berkeinginan menjadi priyayi atau pegawai gubernemen yang bisa mentereng dan dihormati,” kenang Sudjojono.

Karena aktivitasnya yang banyak itu, Sudjojono sempat jatuh sakit, TBC, dan harus dirawat di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu) selama sebulan penuh. Suatu hari, ia dibesuk seorang kawannya, yang juga membawa koran Java Bode, edisi tahun 1938, yang memuat berita tentang undangan mengikuti pameran kepada semua pelukis di seluruh negeri. Pameran itu akan digelar oleh Kunstkring, pusat kesenian yang diakui pemerintah Hindia-Belanda.

Demi membaca itu, Sudjojono pun lantas minta ijin ke dokter untuk pulang ke Batavia, meski belum waktunya. Ia bertekad ikut pameran tersebut. “Ini satu-satunya kesempatan yang ada. Saya kepengin tahu, berapa jauh saya ketinggalan dengan maestro-maestro Belanda dan orang-orang Barat lain itu,” tutur Sudjojono.

Untungnya dokter mengijinkan Sudjojono keluar dari karantina perawatan. Dan begitu sampai di Batavia, ia segera mengirimkan satu-satunya lukisan cat minyak karyanya: Kinderen met Kat (Anak-anak dan Kucing) ke Kunstkring.

Tanpa diduga, Kinderen met Kat dijadikan cover poster pameran Kunstkring tersebut. Artinya, lukisan Sudjojono itu dinilai sebagai lukisan terbaik dari semua lukisan yang akan dipamerkan. Sudjojono menggambarkan suasana hatinya saat itu: “Hati saya macam sekuntum mawar, pelan-pelan merekah panas, terbuka lega. Dan hari-hari sesudah itu seakan-akan tak habisnya indah……”

Sejak saat itu pula, Sudjojono makin meyakini jalan hidupnya adalah menceburkan diri sedalam-dalamnya di dunia seni rupa Indonesia. Dengan sejumlah pelukis dan dua orang wartawan—Adam Malik dan A. Sipahoetar—Sudjojono membentuk dan mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di tahun 1937.

Di Kancah Revolusi Kemerdekaan  
Di masa revolusi kemerdekaan, Sudjojono merupakan tokoh terdepan yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia melalui lukisan dan mural-mural di berbagai ruang publik. Ia juga menggabungkan diri dengan API (Angkatan Pemoeda Indonesia), suatu gerakan politik yang dipimpin Wikana dan Chairul Saleh. Bagi Sudjojono, kemerdekaan Indonesia adalah “revolusi manusia yang dipimpin orang-orang muda”.

Sudjojono menggambarkan suasana revolusi kemerdekaan itu dengan bagus sekali. “…Suatu garis batas psikologis telah dilampaui. Roda nasib berputar dan tidak akan kembali pula…. Semua orang merasa punya republik. Benda dan kapital baru ini telah kita miliki. Macam orang kemaruk habis sakit keras 350 tahun, tapi terus perlahan-lahan ingat bahwa benda ini kembali pula yang pernah dia miliki, maka kemarukan itu menjelma ke ribuan pemuda menjadi suatu keinginan yang susah difantasikan semula….”

Ketika ibukota Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta, Sudjojono kembali memimpin para pelukis yang dikoordinasi dibawah Biro Perjoeangan. Bersama Trisno Sumardjo dan pelukis lainnya, Sudjojono juga mendirikan Seniman Indonesia Moeda (SIM). Bahkan, ketika pasukan Belanda menggelar aksi polisionil 2 yang menduduki Yogyakarta, Desember 1949, Sudjojono membentuk “Lasjkar Gerilja”, pasukan bersenjata yang terdiri dari kalangan pemuda dan mahasiswa. Saat melakukan operasi militer, Lasjkar Gerilja kerap saling bahu-membahu dengan pasukan anak-anak Militiare Academie (MA) yang dipimpin GPH Djatikoesoemo.

Menariknya, Sindoedarmo– ayahanda Sudjojono— ikut bergabung dengan Lasjkar Gerilja. Ia tercatat sebagai anggota tertua. Meskipun rambutnya sudah memutih, jalannya agak bongkok, Sindoedarmo suka sekali kalau diajak menghadang atau mengejar pasukan Belanda. Dalam suatu pertempuran di Manis Renggo, Boyolali, Sindoedarmo tewas tertembak peluru musuh. “Saya lihat darah mengalir dari perutnya sebagai air tumpah… Saya sayangkan sekali bapak tidak bisa menikmati alam merdeka kita”, tulis Sudjojono.

Selepas perang kemerdekaan, Sudjojono ditunjuk sebagai anggota parlemen dari fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi, karena perbedaan pendapat dengan pimpinan PKI—terutama mengenai tiga hal elementer: tentang keberadaan Tuhan, sikap anggota partai komunis terhadap anggota-anggota partai lain, dan soal percintaan (dengan Rose Pandanwangi)— di tahun 1958 Sudjojono memutuskan mengundurkan diri dari PKI, parlemen, dan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat).

“Dengan perbedaan-perbedaan di atas, yang buat saya merupakan perbedaan elementer, yang tidak bisa disatukan, maka cinta saya pada Rose rupanya menjadi gongnya start keluar dari lubang perlindungan menuju ke medan terbuka,” kata Sudjojono. “Karir saya sebagai politikus berakhir, saya komplet sepenuhnya bisa melukis.” [Satyadarma]