Ilustrasi: Konser Rakyat Leo Kristi, Bra-bra Desember pada 1992/hitamputihorche.com

Koran Sulindo – Ia mungkin sisa-sisa yang tertinggal dari seniman pengelana dari masa silam, seorang pengembara yang hidup di masa-masa di mana melihat orang seperti dia mungkin hanya sekadar genit dan lucu. Tapi ia terus melakukannya, seorang pejalan fisikal, yang menikmati hidup berpindah dari kota ke kota secara bohemian. Hari ini di Jimbaran, Bali, besok di pedalaman Kalimantan Tengah, sebulan lagi di Sumba Opu Makasar, Sulawesi Selatan…

Pamrih lelaki yang selalu berambut panjang itu hanya sederhana. Orang-orang di semua penjuru nusantara harus tahu musik mereka tidak kalah indahnya dengan musik yang datang dari luar negeri. Dan ia terus keliling melakukan konser rakyat di lapangan, di gelanggang mahasiswa, di gedung kesenian, di halaman taman-taman kesenian, sampai penonton terakhir, sampai mati.

Tujuan Leo Imam Sukarno melakukan pementasan keliling tersebut, sebagaimana ditulis Espita Riama dalam lema Leo Kristi di Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan IV (terbitan Kemedikbud), membawa misi memberi pemahaman luhurnya musik daerah kepada rakyat.

Henry C. Widjaja menceritakan pengalamannya menonton Konser Rakyat Leo Kristi: Konser diawali keterlambatan, gitar masih belum distem, sistem tata suara terus berdenging, senar putus beberapa kali, nyanyi serempak yang tak kompak, namun penonton tak berhenti bersorak. “Bahkan ada saweran agar Leo terus bernyanyi. Ada sesuatu yang lebih dari masalah teknis, yaitu menjadi saksi bagi jiwa yang bernyanyi,” tulis Henry, dalam “Celebrating the Moment: A Compilation of Photo Poems in Black & White.”

Konser Rakyat (KRLK) diproklamirkan Leo sejak pertengahan 1970-an. Formasi pertama: Leo Kristi, Naniel Yakin, Mung Sriwiyana, Jilly Jonathans  dan Lita Jonathans. Dua nama terakhir ini masih bersaudara dan berperan sebagai penyanyi latar.

Formasi ini melahirkan Nyanyian Fajar yang diproduksi Aktuil Musicollection–majalah musik di Bandung yang melebarkan sayap ke dunia rekaman. Inilah album pertama Leo yang digagas menjadi 5 serial. Formasi terus berubah-ubah, nama-nama silih berganti, ada yang keluar ada yang masuk, ada yang masuk lagi. Otte Abadi, Komang, Cak Bagus, Tatiek, Yayuk, Nana van Derkley, Yana van Derkley…

Setelah album pertama yang rilis pada 1976 tadi, menyusul Nyanyian Malam (Irama Tara, 1977), Nyanyian Tanah Merdeka (Irama Tara, 1978), Nyanyian Cinta (Suara Emas Record, 1979), Nyanyian Tambur Jalanan (Akurama, 1982).

Konsep itu niatnya akan disambung album pentalogi lagi dengan seri Lintasan. Yang pertama rilis 1983, Lintasan Hijau Hitam, disambung Lintasan Biru Emas (1985). Namun konsep ini berhenti di sini. Tahun 1985 itu Leo mengumpulkan materi lagu lamanya lalu diaransemen ulang menggunakan beberapa perangkat elektronik terbaru pada zamannya, seperti drum machine dan MIDI keyboard, keluarlah Deretan Rel Rel Salam dari Desa (1985).

Di luar KRLK, lahirlah Diapenta Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (1993), Tembang Lestari (1995, edisi terbatas), dan Warm, Fresh, and Healthy (2010) yang menjadi album terakhirnya. Diantara itu Leo juga pernah menggarap music score untuk film Letnan Harahap (1977) dan Nyoman Cinta Merah Putih (Nyoman dan Presiden; 1989). Juga sebagai aktor, memerankan Bung Tomo dalam film Soerabaia 45 (1991).

Kristi

Suatu kali ia berduet dengan penyanyi perempuan bernama Kristi, mereka dikenal sebagai Leo Kristi. Ketika bubar, Leo tetap menggunakan nama Leo Kristi. Namun dalam berbagai kesempatan, Leo mengaku Kristi adalah nama gitar hitam yang selalu dibawanya manggung, singkatan dari keris sakti.

Anak kedua dari 4 bersaudara ini sejak SD aktif dalam paduan suara gereja di sekolahnya yang Kristen, padahal Leo Islam.  Orang tuanya, R.A. Roekmini Idajati dan Raden Ngabehi Iman Soebiantoro dari keluarga menengah, ayahnya bekerja di kantor inspeksi keuangan.

Kemampuannya bernyanyi, bermain gitar, flute, piano, dan biola menular dari ayahnya. Leo lalu kursus gitar pada Tony Kardijk, Direktur Sekolah Musik Rakyat di Surabaya. Lalu mendalami teknik memetik gitar pada Oei Siok Gwan dan Poei Sing Gwan. Teknik vokal dipelajarinya dari John Topan dan Nuri Hidayat.

Dalam bermusik dia dipengaruhi musisi barat seperti Bob Dylan, Beatles, Mellani dan Piere Morlin dan tak pernah menyangkal di antara lagu-lagunya ada terjemahan dari lagu asing. Tapi ia meyakini setelah melalui tangannya lagu-lagu itu menjadi diapenta Indonesia.

Bersama musisi Gombloh dan Franky Sahilatua, Leo membentuk grup musik rock progresif, Lemon Trees. Namun tak lama ia keluar dan sendirian mengembara. Benar-benar mengembara secara fisik, dari kota ke kota.

Pada malam kebangkitan nasional lalu,  Lkers, wadah penggemar Leo Kristi yang awalnya didirikan almarhum Amir Husen Daulay, mengadakan malam pengumpulan dana bertajuk “Fajar di Hatimu” di Anjungan Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta (20 Mei 2017). Sekitar 1 jam setelah konser nyanyi bersama para pecinta itu berakhir, trubadur itu mengembuskan napas terakhirnya pada usia 69 tahun. (atau 72 tahun jika mengikuti Denny Sakrie, dalam buku “Musisiku”, yang diterbitkan Komunitas Pecinta Musik Indonesia, yang mengatakan Leo lahir di Surabaya, 11 minggu sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia).

Melalui pesan berantai yang beredar lewat aplikasi pesan singkat, seniman musik itu dikabarkan meninggal dunia di RS Immanuel, Bandung, Jawa Barat, pukul 00.59 WIB. Leo menjalani perawatan di sana sejak akhir April lalu karena mencret dan tekanan darahnya tak stabil. Dokter mendiagnosa Leo memiliki gangguan pada ginjalnya, namun ia pergi dikabarkan karena penyakit penurunan daya tahan tubuh.

“Berawal dari diare karena amuba yang telat penanganannya,” kata Djati Nurani, salah satu sahabat Leo yang ikut menunggui selama di rumah sakit kepada Tempo.co (4 Mei 2017).

Ia dimakamkan setelah salat Asar di Pemakaman Muslim Islamic Center IQRO, Jatimakmur, Bekasi pada 21 Mei 2017. “Musik adalah sahabat, dan nyanyian adalah kecintaan,” begitu ia pernah dikutip berkata seperti itu.

Dari suaranya yang terdengar nada vibrato dan seperti suara fals, ia kini tak bisa lagi mengadakan konser rakyat di hadapan rakyat, di depan orang-orang yang dicintanya. Ia kini tak bisa lagi mengangkat kaki kanannya menjejak ke atas drum di depannya, mengucapkan “Permisi” pada mereka yang hadir di hadapannya, dan menyanyikan sepenuh hati lagu cintanya pada Indonesia ini, Dayu Jiwa (dari album Anak Merdeka) ini:

Tanah air, matahariku

Bersatu gelombang, menembus mayapada biru

Terbanglah terbang tegar, terbanglah tegar Garudaku

Tegarlah oh jiwaku, tegarlah tegar oh ragaku. [Didit Sidarta]