ILustrasi: Tentara berjaga di depan Istana Bogor, saat demo mahasiswa setelah peristiwa 30 September 1965/Getty Image

Suluh Indonesia  – Sebanyak 39 dokumen setebal 30.000 halaman catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968 dibuka ke publik pekan ini. Dokumen-dokumen dalam bentuk PDF itu dibuka oleh lembaga nonprofit National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

Yang terakhir ini adalah lembaga nonprofit di bidang kajian deklasifikasi dokumen, dan berperan penting dalam memindai dokumen-dokumen tersebut menjadi dokumen digital, supaya bisa diakses publik.

Dokumen itu dinyatakan tidak lagi rahasia (deklasifikasi) mulai Selasa, 17 Oktober 2017 pukul 09.00 waktu Amerika Serikat.

Namun sampai saat ini jumlah yang dibuka hanya sebagian kecil dari total 30 ribu halaman itu. Sisanya baru akan dikeluarkan lagi sebagian pada awal 2018 mendatang.

Laporan itu menguak sejumlah surat diplomatik rahasia dari dan ke Amerika Serikat ketika pembantaian orang-orang yang terlibat atau dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 dan selanjutnya, terjadi.

Isi dokumen antara lain soal konflik antara tentara (terutama Angkatan Darat) dengan PKI, dan pembantaian orang-orang PKI setelah konflik itu.

Seperti dikutip bbc.com, fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal yang selalu didengungkan bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang seharusnya bertanggung jawab.

“Mereka bingung dan mengaku tak tahu soal 30 September,” tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.

Dalam kabel diplomatik Kedutaan Amerika untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri Amerika di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, “Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu.”

Dalam telegram itu juga disebutkan, “Jika itu terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil.”

Angkatan Darat mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya dari negara-negara Barat setelah tindakan itu terlaksana.

Baca juga Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin

Telegram itu dikirim setelah AD, pada 10 Oktober 1965, menghadap Soekarno dan melaporkan keterlibatan PKI pada kejadian 30 September. Soekarno menolak membaca dan memarahi mereka karena menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian meninggalkan Soekarno dengan jengkel.

Sementara itu Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya mengeksekusi pimpinan PKI dan membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Udara Indonesia. Soal itu tercatat dalam kawat tanggal 18 Oktober 1965.

Sutarto menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI sudah merebak di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh “Angkatan Darat/kelompok Muslim”.

“Kita perlu menggantung Aidit, Njoto, dan Lukman di Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya mereka. Omar Dani harus meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh dia,” kata Sutarto.

Dalam telegram tanggal 20 November 1965, dituliskan kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat Amerika dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya. Jurnalis yang disebutkan itu adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. “Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah,” tulis laporan itu.

Soeharto

Sementara itu, seperti dikutip kbr.or.id, dalam belantara dokumen itu ternyata ada salah satu yang menyebut nama Soeharto. Ia memerintahkan pembunuhan massal terhadap anggota PKI.

Berdasarkan laporan Joint Weeka (koleksi laporan mingguan Kedubes AS), yang terbit 30 November 1965, ternyata Soeharto mendukung atau memerintahkan pembunuhan massal terhadap pendukung atau anggota PKI.

“Dalam serangkaian pertemuan dengan sejumlah tokoh pemuda dan partai politik, Jenderal Nasution mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan upaya untuk menekan PKI, yang sudah sampai tahap eksekusi massa di sejumlah provinsi di Indonesia—tampaknya atas perintah Jenderal Soeharto, setidaknya di Jawa Tengah,” begitu laporan Joint Weeka.

Pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah, dari Medan Sumatera Utara hingga Nusa Tenggara Timur antara tahun 1965-1966. Sejumlah dokumen juga menyebutkan bagaimana peran Angkatan Bersenjata Indonesia dalam pembunuhan massal itu, dengan melibatkan ormas keagamaan di Indonesia.

Menurut data National Security Archive, terjadi pembunuhan massal terhadap sekitar 500 ribu orang yang diduga terlibat organisasi PKI, serta pemenjaraan terhadap jutaan orang yang dianggap pendukung komunis di Indonesia.

Baca juga Malari 1974 dan Badai Kepedihan Hariman Siregar

Perburuan terhadap simpatisan PKI terekam antara lain dalam telegram Kedubes AS tanggal 1 November 1965. Dalam telegram itu, Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green melaporkan ada sekitar 600 orang anggota atau simpatisan PKI ditangkap dan dipenjara di Sumatera Selatan—termasuk pengurus organisasi buruh SOBSI yang bekerja di perusahaan Shell, Stanvac dan pabrik pupuk PUSRI.

Begitu juga puluhan orang dari Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang dianggap komunis, diangkut dengan truk dari kilang minyak Plaju dan Prabumulih. Data itu berdasarkan kunjungan Atase Tenaga Kerja AS ke Sumatera Selatan, terutama untuk mengetahui kondisi perusahaan asing yang berada di Sumatera.

Kondisi dilaporkan kian genting di wilayah Jawa Tengah, khususnya Solo yang saat itu dianggap sebagai salah satu basis PKI.

Kedubes AS mendapat salinan laporan rahasia dari intelijen Angkatan Udara Indonesia yang dikeluarkan 29 Oktober 1965, hampir satu bulan pasca-G30S.

Laporan rahasia intelijen itu menyebutkan tingginya pertentangan antara partai-partai nasionalis serta partai agama terhadap PKI. Aksi demonstrasi meningkat hingga tentara (ABRI) membentuk Staf Gabungan Keamanan untuk mengendalikan situasi. Aksi massa berujung pada penculikan tewasnya puluhan orang dalam kurun waktu tiga hari (22-24 Oktober 1965), dari kelompok pro maupun anti-PKI.

Sepekan kemudian, telegram Kedubes AS pada 4 November menyebutkan adanya peningkatan aksi pembersihan PKI di sejumlah wilayah di Jawa, khususnya di kampung-kampung yang dianggap menjadi basis PKI di Surabaya dan Blitar, Jawa Timur.

ABRI juga mengisolasi daerah-daerah yang diduga menjadi basis PKI seperti Madiun, Pacitan dan Ponorogo.

Menurut media ABRI, wilayah-wilayah itu dijaga ketat untuk mencegah masuknya simpatisan PKI dari Solo maupun Wonogiri.

Dalam upaya untuk menekan PKI, petinggi ABRI di Jawa Timur—Kolonel Basuki Rachmat—menggunakan propaganda dengan membandingkan Gerakan 30 September 1965 dengan pemberontakan PKI Madiun 1948. Poster besar bergambar para jenderal korban pembunuhan G30S dipasang dengan tulisan, bahwa G30S identik dengan pemberontakan PKI di Madiun. Isu pemberontakan PKI di Madiun sangat sensitif di kalangan umat Islam, karena saat itu dianggap terjadi pembantaian terhadap ratusan orang kiai dan santri.

Perburuan terhadap PKI terus berlanjut di luar Jawa. Dalam telegram 12 November 1965, Dubes AS Marshall Green melaporkan 90 persen pertokoan milik etnis Tionghoa di Makassar, Sulawesi Selatan diserbu dan dijarah dalam kerusuhan 10 November 1965. Toko-toko milik warga etnis Tionghoa juga dipaksa menurunkan harga.

Telegram Kedubes AS pada 12 November juga mengutip rilis yang dikeluarkan Tentara Indonesia mengenai 50-an anggota PKI yang membunuh lima warga sipil di Kudus Jawa Tengah. Perburuan tentara terhadap Aidit, petinggi CC-PKI, mendapat bantuan dari warga di sekitar Gunung Merapi—di mana Aidit bersama Njono dan sejumlah orang lain dikabarkan bersembunyi di wilayah Merapi. Di awal November itu, Dubes AS untuk Indonesia melaporkan klaim kepolisian yang sudah menangkap sekitar 872 orang yang diduga terlibat G30S.

Dalam periode akhir November itu, sejumlah provinsi mulai memberlakukan larangan keberadaan PKI, dan penggantian pemimpin daerah yang dianggap pro-PKI, seperti di Sumatera Utara dan Bali. Sementara itu, di Makassar terjadi aksi anti-China, dimana massa menyerbu dan merusak sekitar 90 persen rumah dan pertokoan di wilayah itu.

Sementara itu, militer juga membekali anggota Pertahanan Sipil (Hansip) di pelosok-pelosok desa di Sumatera dengan senjata, untuk memperluas jangkauan militer menekan PKI. Telegram Kedubes AS tanggal 6 Desember 1965 menyebutkan bahwa militer ‘memperkuat cengkeramannya ke semua aspek kehidupan politik.” Militer juga membentuk “organisasi payung Islam, guna merangkul dan mengontrol ormas Islam.”

Laporan Joint Weeka edisi 7 Desember 1965 menyebutkan pembersihan terhadap PKI terus berlanjut. Sedikitnya 34 ribu orang di Pulau Jawa yang dianggap anggota PKI ditangkap, sebagian dieksekusi di tempat. Aset-aset milik pengusaha Tionghoa—yang diduga anggota Baperki—disita.

Pelarangan PKI juga terus terjadi di berbagai tempat, seperti di Kalimantan Barat, Batak Karo (Sumatera Utara) hingga Yogyakarta.

Setelah 2 Bulan

Setelah terjadi perburuan dan pembantaian massa PKI selama sekitar dua bulan, tentara Indonesia mulai kalem. Di beberapa tempat di mana PKI sudah hancur—seperti di Kediri—tentara mulai berusaha menghentikan aksi pembunuhan massal.

Di Surabaya, tentara secara terang-terangan menyebut kota itu sebagai tempat pelarian dan persembunyian anggota PKI. Masyarakat muslim juga melabeli sejumlah stasiun radio di Surabaya sebagai ‘sarang PKI’, hingga berujung penangkapan sejumlah pengelola radio atas tuduhan terlibat Gerakan 30 September (Gestapu).

Pembersihan juga dilakukan oleh pejabat pemerintah pendukung tentara terhadap para pejabat yang diduga terlibat PKI. Menteri Urusan Dalam Negeri Sumarno, ketika berada di Surabaya pada 6 Desember mengumumkan ada 5.000 pejabat lokal di Jawa Timur—termasuk anggota legislatif—dipecat. Pembersihan juga dilakukan terhadap 60-an jaksa di Jawa Timur.

Peran tentara melibatkan ormas keagamaan untuk membersihkan PKI juga terlihat dalam telegram Kedubes AS pada 10 Desember 1965. Berdasarkan informasi dari pengurus Partai Katolik, operasi anti-PKI di Kudus, Jawa Tengah dilakukan pasukan khusus RPKAD dengan bantuan organisasi Katolik, IP-KI dan Nahdlatul Ulama.

Hingga pertengahan Desember 1965, jumlah orang yang dibunuh karena dianggap terlibat PKI atau G30S mencapai sedikitnya 100 ribu orang. Angka itu disebut dalam laporan rahasia mingguan (Joint Weeka) yang dikirim Kedubes AS pada 21 Desember 1965.

“Meskipun Soekarno sudah mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kekejaman tentara atas PKI dengan ungkapan paling marah dan pedas—bahkan mengancam mundur jika pukulan terus berlanjut, namun ancaman itu tidak membuahkan hasil. Pukulan terus berlanjut, dengan perkiraan angka 100 ribu anggota PKI dibunuh. Sementara itu, kalangan politisi dan tokoh pemuda terus mengeluarkan pernyataan yang mengecam upaya membangkitkan partai beraliran Marxisme-Leninisme…”

Namun mulai awal Desember, menurut data National Security Archive (NSA) pembunuhan massal terhadap PKI di Bali mulai terjadi , yaitu ketika pasukan para komando dan Brawijaya pimpinan Sarwo Edhie Wibowo tiba di pulau itu. “Aksi pembunuhan berlangsung selama beberapa bulan, hingga jumlah orang yang dibunuh mencapai sekitar  80 ribu orang,” tulis NSA. [DAS]

(Tulisan ini permah dimuat pada tanggal 18 Oktober 2017)