Ilustrasi: Menteri Luar Negeri Burma (sekarang Myanmar), Sao Khun Khio, diterima Presiden Sukarno 26 Januari 1951/IPPHOS.

Koran Sulindo – Dakota RI 001 itu terbang malam ke arah Burma (kini Myanmar) pada 26 Januari 1949. Pesawat bernama Seulawah itu, yang pertama dimiliki Republik Indonesia, adalah sumbangan rakyat Aceh. Burung besi berbaling-baling dua itu mendarat di pangkalan udara Mingaladon, Rangoon, diterima dengan ramah, dan diperlakukan sebagai bangsa dan negara berdaulat.

Sejak masa awal perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaannya dari tentara Belanda yang mendarat lagi itu, Myanmar selalu menunjukkan dukungan pada RI. Myanmar mengutuk agresi militer Belanda saat itu dan memberi izin Dakota RI-001 Seulawah itu mampir membawa delegasi Indonesia, sebelum ke PBB.

Relasi RI-Myanmar langsung terjalin sejak 1945, saat Soekarno masih belum lama memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Negara di wilayah Indo China itu juga membuka tangan secara terbuka ketika RI membuka kantor perwakilan di Yangon–kala itu disebut dengan Rangoon, pada 4 Januari 1948. Marjunani, perwakilan Indonesia, bahkan sudah tinggal di negeri itu sejak 1947 dan diberi ruang di flat yang kelak diperbesar menjadi kantor Kedutaan Besar RI.

Setahun kemudian, 1949, RI dan Myanmar resmi menjalin hubungan diplomatik

Memasuki era tahun 1950-an ketika dunia tertarik dalam dua kutub AS dan Uni Soviet, Indonesia—diwakili Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo bersama mitra di kawasan, termasuk Myanmar yang diwakili Perdana Menteri U Nu memelopori lahirnya gerakan non-blok. Gerakan yang juga dimotori oleh PM Jawaharlal Nehru dari India, PM Mohammad Ali Bogra dari Banglades, dan PM Sir John Kotelawala dari Sri Lanka itu melahirkan negara-negara baru di kawasan.

Soekarno memuji Myanmar sebagai “Kawan dalam memperjuangkan dan mencapai kemerdekaan sejati”

Secara personal, hubungan Myanmar dengan Bapak Bangsa itu terjalin tidak langsung ketika Bung Karno mengirim ratusan orang Romusha ke negeri itu. Kedua negara saat itu di bawah pendudukan Jepang.

Secara kultural dan ekonomi, hubungan RI-Myanmar bahkan terbentang hingga sekitar abad ke-14. Pada buku Negara Kertagama karya Empu Prapanca, ada disebut daerah bernama Marutma, yang kini dikenal sebagai Martaban atau Mottama, negara bagian yang terletak di Myanmar Selatan. Kawasan itu pada masa Majapahit dulu disebut sudah cukup modern.

Perikemanusiaan

Sejak lima tahun lalu, saat konflik komunal yang berakar pada persoalan ekonomi dan kemiskinan meletus di negeri yang rakyatnya mayoritas masih bersarung itu, Indonesia selalu hadir. RI membangunkan sekolah bagi komunitas Buddhis dan Muslim. Bantuan-bantuan juga diberikan kepada setiap komunitas.

Sikap tidak menggurui, terbuka, dan tidak membeda-bedakan itu mampu menerobos banyak pintu.

”Myanmar dapat menggunakan Indonesia sebagai laboratorium untuk belajar mengenai proses demokratisasi, rekonsiliasi, dan hidup berdampingan secara damai, dalam masyarakat yang pluralis,” kata Menlu Retno Marsudi, tahun lalu.

Indonesia sudah mengalami konflik komunal seperti Poso, Aceh, Poso, dan Papua. Indonesia siap berbagi pengalaman dengan rakyat Myanmar dalam mempertahankan kesatuan Indonesia, sebagai bangsa, sebagai natie.

”Penyelesaian masalah di Rakhine memerlukan adanya proses pembangunan ekonomi yang inklusif, dan menyukseskan proses rekonsiliasi dengan membangun kepercayaan antara masyarakat. Tugas Pemerintah Myanmar adalah menciptakan situasi kondusif bagi terciptanya harmoni, stabilitas, dan perdamaian,” kata Menlu Retno.

Di titik ini, pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang kelak dijadikan hari Lahir Pancasila ini patut didengarkan lagi. ”Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!”

Menurut Bung Karno, Indonesia ke depan harus dihela ke arah  itu.

“Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan”. “My nationalism is humanity”.

Secara geopolitik, penguatan demokrasi di Myanmar akan berpengaruh pula dalam relasi di tingkat regional dan internasional. Apa yang terjadi di Myanmar adalah masalah kemanusiaan, bukan perang antar agama atau lainnya. Karena itu harus diselesaikan dengan cara  berperikemanusiaan.

Rohingya, Kemanusiaan

Beberapa tahun terakhir, negeri subur menghadapi konflik horizontal antar suku dan juga konflik internal antara pemerintahan militer dengan beberapa suku besar. Seperti Indonesia, Myanmar kaya dengan bahan tambang, mineral, dan gas. Seperti Indonesia, Myanmar tersusun atas beberapa suku yang berbeda-beda. Mereka mempunyai semboyan kesatuan yang maknanya mirip Bhineka Tunggal Ika. Dan seperti Indonesia juga, konflik antar suku antar agama masih sering terjadi, dan beberapa meledak besar dan menjadi pemberitaan dan percakapan dunia internasional.

Setelah badai Nargis menghantam negara itu pada Mei 2008, Myanmar memasuki peradaban yang lebih terbuka. Mereka menyadari bahwa kekuasaan militer tak dapat menempatkan diri mereka untuk bersanding dan bersaing secara global. Atas dasar itulah Myanmar pelan-pelan membangun paradigma baru pemerintahan yang demokratis. Lebih menarik lagi, pasca Nargis, Pemerintah Myanmar menghendaki ASEAN berperan dalam penanganan tersebut. Indonesia menjadi pilihan mereka.

“Dalam transisi demokrasi di Myanmar, Pemerintah Indonesia memiliki modal besar untuk terlibat, yang dimulai sejak rekonstruksi bencana badai Nargis di mana beberapa ahli rekonstruksi Indonesia terlibat. Indonesia juga mendukung Pemilu 2010 dan terakhir mendukung kepentingan politik luar negeri Myanmar sebagai Ketua ASEAN 2014,” tulis Juanda Djamal, Sekjen Konsorsium Aceh Baru, di Kompas, 5 Januari 2012.

Namun belakangan sayap bersenjata suku Rohingya, muslim yang mayoritas tinggal di daerah yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, 5 tahun terakhir melakukan konflik terbuka dengan junta militer dan suku lain yang beragama Budha.

Dalam kekerasan etnis yang mengikuti konflik itu, hanya perikemanusiaan Indonesia yang dipercaya menjadi kawan yang membantu upaya perdamaian di negeri itu. [DAS]