Ilustrasi

Koran Sulindo – Menjelang dan saat peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini, marak tagline “Kita Tidak Sama, Kita Bekerjasama” di media mainstream dan media-sosial. Peringatan pun digelar cukup meriah di mana-mana, melibatkan kalangan muda. Seakan ingin menepis polemik soal “pribumi” yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dalam pidato pelantikannya.

Peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi 89 tahun lalu itu jelas merupakan tonggak penting dalam proses kesadaran kebangsaan Indonesia. Tapi, ia tidaklah ujug-ujug muncul begitu saja. Peristiwa ini merupakan bagian mata-rantai kesadaran kebangsaan.

Ironisnya, kesadaran kebangsaan itu justru merupakan buah kebijakan kolonial, yang telah dimulai di awal abad 19. Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Daendels, yang mewakili Perancis, memerintahkan sejumlah bupati di Jawa untuk menyelenggarakan sekolah bagi anak-anak bumi-putera, dan isi pelajarannya harus mengandung unsur-unsur budaya dan agama masyarakat luas, agar anak-anak pribumi itu tumbuh menjadi orang Jawa yang baik. Daendels juga memprakarsai pembukaan sejumlah sekolah kejuruan.

Di masa selanjutnya, ketika kekuasaan kembali di tangan pemerintah Hindia-Belanda—setelah lima tahun di bawah kekuasaan Inggris dengan Letnan Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816)—serangkaian gagasan dan kebijakan dicetuskan untuk membuka peluang bagi anak-anak bumiputera untuk menikmati pendidikan. Di dalamnya dinyatakan bahwa akan diselenggarakan dua jenis persekolahan: yang berbahasa Barat (europese scholen)—tingkat rendah maupun menengah—dan yang berbahasa bumiputera (inlandse scholen) yang melulu tingkat rendah. Kepada anak-anak bumiputera dari kalangan atas diberi juga kesempatan memasuki sekolah berbahasa Barat.

Tapi, gagasan itu kurang mendapat sambutan dari kalangan penyelenggaran pendidikan bumiputera. Lagipula pemerintah Hindia-Belanda sendiri ternyata kurang bersungguh-sungguh: gagasan peningkatan pendidikan bagi bumi putera yang berlandaskan semangat pencerahan humaniter itu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi lewat program cultuurstelsel.

Sejak tahun 1848, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan sejumlah keputusan baru tentang perluasan sekolah bagi bumi putera, termasuk pengadaan sejumlah sekolah guru. Dan di tahun 1863 diperkenalkan pula berbagai kebijakan baru yang mencerminkan politik pendidikan liberal, yang tidak melulu bertujuan mencetak pegawai, tetapi sudah mengarah kepada pengembangan masyarakat. Pada dasawarsa 1870-an, terjadi perkembangan yang lebih penting, ditandai dengan keluarnya serangkaian peraturan baru yang memperlihatkan semakin kuatnya pengaruh liberalisme dalam kebijakan pendidikan pemerintah Hindia-Belanda.

Di tahun 1899,  C.T. van Deventer  — seorang ahli hukum Belanda dan pelopor politik etis– menulis sebuah artikel Een Eereschuld (Utang Budi) di majalah De Gids. Pengertian Eereschuld secara substansial adalah “utang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim”. Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dan sebagainya) sebagai hasil kolonialisasi daerah jajahan di Hindia-Belanda, sementara Hindia-Belanda sendiri di masa itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.

Artikel itu juga mengingatkan pemerintah Belanda untuk segera meningkatkan taraf hidup masyarakat Hindia Belanda sebagai balas jasa atas keuntungan yang telah diperoleh pemerintah Belanda selama ini. Jadi, gagasan utama Politik Etis berkaitan dengan kewajiban pemerintah dan rakyat Belanda membayar “utang budi” kepada tanah jajahan di Hindia-Belanda. Pembayaran “utang budi” itu dilakukan melalui peningkatan kesejahteraan rakyat tanah jajahan, terutama peningkatan di dunia pendidikan, kesehatan, dan taraf hidup rakyat Hindia-Belanda.

Meski mendapat tantangan yang hebat dari kaum konservatif di parlemen Belanda, van Deventer terus memperjuangkan pelaksanaan Politik Etis. Hingga akhirnya, Ratu Belanda dalam sebuah pidato tahunan kerajaan di depan parlemen,  September 1901, berkata tentang suatu “kewajiban yang luhur dan tanggung-jawab moral untuk rakyat di Hindia-Belanda”. Pesan kerajaan ini dilanjutkan dengan menyatakan keprihatinan terhadap keadaan ekonomi yang buruk di Hindia-Belanda, dan meminta agar dibentuk suatu komisi untuk memeriksa keadaan itu. Dari pidato Ratu Belanda itulah kemudian ditetapkan sebagai dimulainya Politik Etis untuk negeri jajahan.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia-Belanda. Salah seorang yang berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J. H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Belanda (periode 1900-1905). Sejak tahun 1900 berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa, yang hampir merata di daerah-daerah yang dikuasai pemerintah kolonial Belanda.

Dari sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda inilah, kemudian muncul kaum terpelajar. Mula-mula kebanyakan mereka bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial, sebagian lagi bekerja di surat-kabar milik orang Belanda atau Tionghoa. Lantas, beberapa dari mereka mendirikan surat-kabar sendiri. Juga bermunculan berbagai perkumpulan: awalnya bersifat kedaerahan, kemudian menjelma menjadi organisasi pergerakan kebangsaan.

Sejalan dengan itu, pelan tapi pasti, kaum terpelajar itu pun mulai tercerahkan. Pada 20 Mei 1908 berdiri Budi Utomo, yang di awal pembentukannya merupakan gerakan kultural untuk meningkatkan kesadaran kalangan priyayi Jawa. Empat tahun kemudian, 10 September 1912,  Haji Oemar Said Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam—yang bisa dikatakan sebagai partai politik modern, dalam arti organisasi massa yang berusaha mempengaruhi proses politik, merombak kebijakan, mendidik para pemimpin, dan mengejar pertambahan anggota. Sejak waktu itulah partai politik dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Namun, saat itu HOS Tjokroaminoto pada masa-masa awal Sarekat Islam tidak mau menyebut Sarekat Islam sebagai partai politik. Sarekat Islam baru menjadi partai politik dalam arti sebenarnya ketika memecah menjadi Sarekat Islam Merah.   SI Merah inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia.

Masih pada tahun yang sama, 25 Desember 1912, lahirlah Indische Partij yang didirikan E.F.E Douwes Dekker—yang membawakan aspirasi nasionalisme Hindia Belanda, yang menuntut kebebasan Hindia Belanda menjadi milik orang yang tinggal di Hindia. Indische Partij terbuka untuk semua golongan bangsa (bangsa Indonesia, bangsa Eropa yang terus tinggal di wilayah Hindia, Belanda peranakan, Peranakan Tionghoa dan sebagainya) yang merasa dirinya seorang  “Indier“, tidak mengingat tingkatan kelas, laki-laki atau perempuan.

Dua partai inilah, Sarekat Islam dan Indische Partij, yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal dari semua partai politik dalam arti sebenarnya yang kelak berkembang di bumi Indonesia.

Beberapa tahun kemudian, lewat kontak-kontak yang teratur oleh para aktivis Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda dengan para aktivis pergerakan di tanah air, pada tahun 1927 didirikanlah Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Pada 4 Juli 1927, para tokoh pergerakan ini berkumpul di rumah Mr. Iskaq di kawasan Regentsweg. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (yang setahun kemudian, diubah menjadi Partai Nasional Indonesia). Sebagai ketua dipilih Soekarno. Para pemimpin PNI ini adalah orang-orang tamatan sekolah tinggi yang rela mengorbankan semua kemungkinan kedudukan pangkat, demi mengejar cita-cita untuk urusan kebangsaan.

Kaum terpelajar yang tercerahkan dengan kesadaran kebangsaan ini makin lama makin banyak jumlahnya, dan dari berbagai suku bangsa: Jawa, Minang, Aceh, Sunda, Batak, Minahasa, Ambon, Tionghoa, Arab, dan sebagainya. Mereka inilah yang kemudian mencetuskan Sumpah Pemuda, lantas menggelorakan pergerakan kebangsaan, dan puncaknya: Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Selayaknya kita memberi takzim kepada generasi pendiri bangsa itu, dengan merawat dan melanjutkan semangat perjuangan mereka, bukan malah mengkhianatinya. [Imran Hasibuan]