Koran Sulindo – Cerita kepada Chairil Anwar itulah yang kemudian diulang Basuki dalam bukunya yang ternyata merupakan kisah nyata. Model itu adalah Irah, mbok-mbok bakul yang setiap pagi berduyun-duyun ke Pasar Beringharjo Yogyakarta untuk jualan atau kulakan.

Mereka-mereka ini rutin ngaso di sanggar pelukis Yogya di Alun-alun Lor tak jauh dari Beringharjo.

Menurut Basuki, si Irah ini agak berbeda dibanding yang lain. Dia lebih genit hingga ketika Basuki nekat ingin menidurinya, dia pasrah. Sekali merengkuh dayung, Basuki sekalian menawarinya sebagai model telanjang untuk lukisannya. “Ah, malu ditonton,” jawabnya.

Dia baru menyerah, setelah Basuki menawari uang ‘khusus’ untuk gambarnya. “Iya boleh, saya mau,” kata Irah. Seketika itu sebuah ciuman mendarat di bibir Irah.

Ah, si ‘binatang jalang’ itu ternyata masih kalah jalang dengan Basuki.

Meski sudah sepakat menjadi modelnya, masalah masih menanti. Irah malu dan memalingkan wajahnya. Tentu saja Basuki repot menggambarnya. Irah dilukis telanjang di ruang dalam, tempat buat tidur.

Selain dianggap lebih aman karena tertutup rapat, tidak bakalan ada orang yang mengintip. Sedangkan cahaya diambil dari atas dengan cara menggeser beberapa genteng.

Membuang kekakuan modelnya, Basuki memilihkan pose berdiri nyandar di satu kaki dengan satu kakinya dilepas dari jejak berdiri. Kedua lengannya terkulai lengket ke badan mengikuti gemulai tubuh dari pinggang ditarik ke atas tersangga kaki yang menjadi sandaran. Pose ini jelas beda dengan standar barat dan lebih dekat dengan adegan di relief candi-candi.

Basuki menulis, saat dengan cermat mesti mengamat-amati tubuh model, dia mengaku takjub dengan kulit wajah Irah yang dianggapnya penuh dengan rintihan hidup. Termasuk lelahnya buah dada yang menggantung. Longsor ke bawah karena habis urat-urat penahannya. “Hanya kerlingan mata Irah yang masih mengajak kita mengubur rasa haru dan lari dalam ramah semalam,” tulis Basuki.

Tak hanya jago melukis “realisme” yang telanjang, Basuki bersama kawan-kawannya di SIM adalah penggerak utama kampanyerevolusi Indonesia pada khalayak. Di Yogyakarta hampir tak ada bidang seperti tembok bangunan hingga gerbong kereta yang kosong tanpa semboyan dan lukisan-lukisan perjuangan.

Salah satu contoh paling terkenal adalah sepanjang sisi dalam tembok timur dan selatan kraton yang menjadi ‘panggung’ revolusi.

Tembok itu penuh ratusan lukisan patriotik yang sambung menyambung hingga hampir sejauh 2 km dengan tinggi rata-rata 4 meter. Di setiap lukisan itu jelas tanda SIM atau PTPI diikuti nama pelukisnya di antaranya Abdulsalam dan BR yang merujuk pada nama Basuki Resobowo.

Ketika masa revolusi fisik berakhir, Basuki kembali ke Jakarta dan bergabung dengan perusahaan film Usmar Ismail, Perfini dengan menggarap Darah dan Doa sebagai perancang produksi. Tak cuma dengan Usmar, di industri film Basuki juga tercatat pernah berkongsi dengan Sitor Situmorang hingga sutradara D. Djajakusuma.

Salah satu karyanya yang paling bersinar adalah film Tamu Agung yang merupakan adaptasi dari The Goverment Inspector karya Nikolai Gogol. Pada pemilu tahun 1955 Basuki diusung menjadi wakil rakyat oleh Partai Komunis Indonesia dan memimpin departemen seni visual Lekra.

Di tengah memanasnya suhu politik di awal tahun 60-an akibat konflik antara golongan kiri yang diwakili PKI dan kaum kanan khususnya militer, Basuki berangkat ke China dan tak bisa pulang ke tanah air menyusul gerakan anti-komunis. Di China, Basuki bertahan hingga tahun 1962 dan pindah ke Jerman Timur sebelum akhirnya menetap di Belanda.

Di masa-masa inilah, Basuki menulis dengan ekstensif. Beberapa karyanya di masa ini adalah Cut Nyak, buku otobiografi Riwayat Hidupku serta Bercermin di Muka Kaca dan Karmiatun.

Salah satu di antara manusia-manusia yang teguh memeluk keyakinannya hingga akhir hayat, Basuki bisa dibilang salah satunya. Sikap politiknya tak pernah luntur setetespun, bahkan ketika kawan-kawan seideologinya berpindah haluan.

Dia tetap memeluk erat keyakinan politiknya itu dan tetap menjadi marxis sejati sekaligus tabah menerima konsekuensinya menjadi ‘imigran politik’. Mengalami dan menjadi saksi kisah pahit para imigran politik di luar negeri: frustasi, pertikaian, hingga perpecahan. Termasuk sanggup dan menerima hidup terpisah dengan anak dan istrinya.

Dia tetap aktif secara politik, termasuk nekat melakukan aksi mogok makan tahun 1992 untuk memprotes rencana eksekusi Ruslan Wijayasastra dan mantan anggota PKI lainnya. Ketika eksekusi itu benar-benar dilaksanakan, Basuki menantang orde baru dengan mendirikan PKI Cabang Amsterdam.

Kolega sesama di Lekra, Hersi Setiawan menyebut, meski berwatak lugu Basuki lekat dengan perangai keras-kepala menjunjung prinsip. Dalam berbagai kesempatan unjuk-rasa, di mana saja dia selalu berkalung karton lebar bertuliskan “P.K.I”. Ya, beda dengan Sudjojono yang dipecat oleh PKI karena berselingkuh, Basuki setia sampai mati.

Dia baru bisa menginjakkan kakinya kembali ke Tanah Air dan menemui kawan-kawannya yang masih tersisa menjelang akhir tahun 1998. Dia kembali ke Belanda dan meninggal di Amsterdam 5 Januari 1999.(TGU)