Ilustrasi/ist

Koran Sulindo – Ancaman itu sebenarnya sudah muncul hanya 10 tahun setelah Reformasi 1998 di Indonesia: demokrasi terancam ditinggalkan rakyat. Alasannya, praktik demokrasi dirasa tidak memberi makna bagi kehidupan rakyat.

“Karena demokrasi tidak memberikan makna dan manfaat bagi rakyat, rakyat tidak akan mempertahankannya. Mereka tidak menikmati hasilnya,” kata pengamat politik Arbi Sanit dalam diskusi pada peluncuran buku digital hasil survei “The 2nd Demos National Expert Survey on Problems and Options of Indonesian Democracy” di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Desember 2008.

Kondisi demokrasi saat itu hampir mirip dengan era demokrasi liberal pada Orde Lama ketika Presiden Soekarno mengganti sistem demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin. Rakyat membiarkan saja proses itu karena merasa demokrasi liberal tidak membawa manfaat bagi mereka.Kekuasaan yang diraih elite secara demokratis tidak digunakan secara demokratis untuk kepentingan rakyat, demokrasi di Indonesia masih hanya untuk kepentingan elite.

Ancaman itu sudah di depan pintu sekarang: demokrasi ditinggalkan, terutama oleh anak-anak muda, tidak hanya di Indonesia saja. Kecenderungan ini berlaku global, ternyata.

Premis itu akan diterbitkan di Journal of Democracy edisi Januari 2017 nanti.

Studi menarik ini  dikerjakan selama 2 tahun terakhir oleh peneliti dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Yascha Mounk, dan Roberto Stefan Foa dari Universitas Melbourne Australia.

Berdua mereka menganalisis sikap terhadap pemerintah oleh berbagai generasi di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru. Temuan pokoknya: Di seluruh negeri demokrasi liberal lanjut itu rakyatnya mulai tak percaya pada pemerintahnya, dan makin lama makin memburuk.

Riset itu menyarankan munculnya tokoh-tokoh seperti Donald Trump, Pauline Hanson, atau pun Marine Le Pen di Perancis dan pemimpin Partai Independen Inggris Nigel Farage adalah simpton dari kelesuan akut tradisi demokrasi liberal.

Dua anak muda lulusan Harvard itu pada mulanya  tertarik pada tren yang ditunjukkan koleganya yang menganalisis data pada situs web World Values Survey, sebuah situs independen yang melakukan survei merdeka tentang kecenderungan politik dunia. Dari analisis awal ditemukan kecenderungan pemerintahan demokratis ditolak di Amerika Latin.

Berdua mereka masuk ke dalam lautan data besar itu, bahwa ketidakstabilan itu juga bisa dilacak di seluruh negara di dunia, dan bisa dicari mulai terjadinya sejak 1980-an.

Hanya sebagai contoh, dalam salah satu survei di situs tadi, ditemukan proporsi warga negara AS yang ingin dipimpin junta militer naik dari 1 per 16 orang pada 1995 menjadi 1 per 6 orang pada survei mutakhir. Lalu generasi yang lahir semasa Perang Dunia II dan menganggap demokrasi adalah esensial ada 72 persen pada 1995. Pada survei terakhir, porsi mereka tinggal 30 persen.

Pola yang sama bisa ditemui di Australia, Inggris, Belanda, Swedia, dan Selandia Baru.

“Warga negara  makin tak tertarik pada partai politik yang sudah mapan, lembaga perwakilan, dan hak-hak minoritas. Mereka mulai terbuka pada gagasan interpretasi otoritarian tentang demokrasi,” tulis laporan itu.

Bagian warga negara yang setuju pada pemimpin kuat yang tak terganggu pemilu atau parlemen juga makin membesar di Jerman, AS, Spanyol, Turki, dan Rusia.

Pada survei di Jerman, mayoritas memang masih mengakui ide demokrasi, namun hanya separuh yang masih percaya demokrasi berjalan di negeri itu. Dan seperlima warga negara percaya, mereka membutuhkan satu partai tunggal yang kuat yang mewakili rakyat.

Di Perancis, 2 per 5 responden pada survei 2015 yakin negeri itu harus diletakkan di tangan pemerintah otoriter dan dijauhkan dari kerepotan demokrasi.

Tanda Bahaya Menyala Merah

Dua periset muda itu mengembangkan 3 tes poin untuk mengukur kesehatan demokrasi. Pertama, seberapa penting warga negara  mempercayai demokrasi bagi negerinya? Kedua, seberapa terbuka keinginan mereka pada bentuk pemerintahan non demokratis?  Dan ketiga, seberapa besar dukungan pada pemain politik di luar parpol dan lembaga yang sudah ada?

Menggunakan uji ukur itu dengan berdasar data historis survei mereka mendeteksi adanya dekonsolidasi demokrasi di negara-negara yang belakangan  memilih orang kuat atau sistem yang lain, seperti venezuela dan Polandia.

Dr Mounk, dalam wawancara dengan The New YorkTimes  edisi pekan lalu mengatakan, hasilnya adalah tanda bahaya sudah menyala merah di seluruh dunia.

Sementara dalam wawancara dengan Fairfax Media, Dr Foa mengatakan kelas menengah di seluruh dunia melihat  stagnasi, konsolidasi kelas, dan pemerintahan yang tak efektif  membuat otoritarianisme makin menarik hati.

Terpilihnya Trump sebagai Presiden AS adalah contoh mutakhir. Trump berkampanye akan memenjarakan penentangnya, dan tak akan menerima hasil Pemilu jika dinyatakan kalah adalah ilustrasi terbaik. Kampanye seperti itu bukanlah hal biasa dalam kehidupan politik demokrasi liberal.

Tren itu juga terdeteksi di Australia hari-hari ini, walau tak sekuat di negeri Paman Sam. Generasi muda di Benua Kangguru yang tak mengalami sejarah yang dialami orangtuanya lebih tergugah oleh otoritarianisme.

“Kami tidak melihatnya sebagai gejala transisional yang berhubungan dengan usia. Di banyak negara seperti Cina misalnya, mereka juga mulai sinis pada nilai-nilai demokrasi sebagai sistem politik. Dan mereka lebih terbuka mendukung alternatif dari demokrasi itu,” kata Mounk dan Foa.

Dan yang paling mencolok dari warga negara itu adalah generasi millenial, mereka yang terlahir di abad ke-21 ini. Anak-anak muda ini makin cenderung pada radikalisme politik dan memperlihatkan dukungan yang minim pda kebebasan berbicara daripada generasi bapak dan kakeknya.

Berdasar survei 2016 , inilah data-data anak-anak generasi internet itu:mereka tak punya masalah dengan otokrasi; banyak dari mereka baik-baik saja jika terjadi kudeta militer di negaranya.

Hanya sekitar sepertiga generasi internet itu menganggap hak-hak sipil sebagai hal yang mutlak esensial dalam demokrasi.

Lebih dari seperempat bagian generasi itu tak percaya pentingnya pemilu jujur adil sebagai bagian penting dalam demokrasi.

Dan gongnya adalah ini: generasi millenial itu tak lagi tertarik pada politik. Mereka hanya tak merasa tak ada  di sana. Politik bukan bagian yang penting lagi dalam hidup mereka.

Data-data bicara. Pada 1995, hanya 16 persen anak muda yang menilai demokrasi adalah sistem politik yang buruk bagi negara mereka. Pada 2011, hampir seperempat kaum muda berpendapat senada.

Mungkin alasan utama menguatnya semangat anak-anak muda itu anti demokrasi karena mereka dibesarkan dalam kehidupan demokrasi yang stabil. Mereka menerima demokrasi begitu saja tanpa perjuangan. Dan seperti ditemukan riset Harvard itu, mereka juga tak tertarik terlibat dalam perjuangan hak-hak sipil.

Bendera merah sudah berkibar. Juga di Indonesia, barangkali. [Didit Sidarta]