Menegakkan Ahlussunnah wal Jamaah  

KH Sirajuddin Abbas Al Minangkabawi lahir di Bengkawas, Bukit Tinggi, Sumatra Barat, pada 20 Mei 1905. Ia lahir di tengah keluarga para ulama. Ayahnya, Syech Abbas bin Abdi Wahab, merupakan seorang qadhi (hakim) yang juga seorang ulama terkemuka. Syech Abbas adalah salah seorang pendiri Perti, dan memiliki pesantren terkenal di Padanglawas, tak jauh dari Bukitinggi. Ia termasuk ulama yang pertama memasukkan cara-cara persekolahan modern di pesantrennya—sejak tahun 1918—sambil tetap berpegang teguh pada mazhab Syafii dan merujuk kitab-kitab mazhab lain.

Ibunda Sirajuddin, Ramalat binti Jai Bengkawas, pun seorang muslimah luar biasa yang juga keturunan ulama terkemuka. Tak heran jika sejak kecil, kedua orang tuanya telah membentuk Sirajuddin sebagai ulama. Dari sang ibu, Sirajuddin mempelajari Alquran, baik membaca maupun menulis. Dari sang ayah, ia belajar kitab-kitab agama berbahasa Arab.

Menginjak remaja, barulah Sirajuddin belajar di majelis para ulama Bukittinggi. Ia juga menjadi santri di berbagai pondok pesantren, antara lain di pesantren yang diasuh Syeikh Haji Husein Pakan Senayan, dan Tuanku Imran Limbukan Payakumbuh. Ia juga mendalami ilmu agama di pesantren Syeikh Haji Abdul Malik, di Gobah Padanglawas.

Di tahun 1927, Sirajuddin bertolak ke Arab Saudi untuk memperdalam ilmu syara’. Di tanah suci, ia menimba ilmu dari banyak ulama dan bersahabat dengan para imam. Guru-gurunya di Makkah, antara lan: Syeikh Sa’id Yamani (mufti Mazhab Syafi’i); Syeikh Husein al Hanafi (mufti Mazhab Hanafi); Syeikh Ali al Maliki dan Syeikh Umar Hamdan (keduanya ulama mazhab Maliki)..

Sirajuddin juga belajar Bahasa Inggris dari guru asal Tapanuli bernama Ali Basya. Menariknya selama di Mekkah, ia tak hanya menimba ilmu, tapi juga mencari kesibukan lain. Misalnya, ia bekerja sebagai staf sekretariat pada konsulat Belanda di Arab Saudi.

Sepulang dari Makkah pada tahun 1933, Sirajuddin Abbas menimba pelbagai ilmu kepada Guru Besar Maulana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi. Kemudian beliau pulang ke kampung halamannya di Minangkabau untuk meneruskan perjuangan ayahnya, mengajar di pesantren-pesantren yang ada di Minangkabau. Sirajuddin Abbas kemudian dikenal sebagai muballigh muda yang potensial.

Selain ulama pendakwah, Sirajuddin juga aktif menulis kitab, terutama di bidang fikih mazhab Syafi’i. Karyanya itu ditulis dalam dalam bahasa Arab, dan sebagian dalam bahasa Indonesia, antara lain: Sirajul Munir, (Fiqih 2 jilid), Bidayatul Balaghah, (Bayan), Khulasah Tarikh Islami, (Sejarah Islam), I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i.

Pikiran-pikiran keagamaan Sirajuddin Abbas banyak diikuti orang, baik yang menyangkut segi-segi akidah maupun syariah. Kitab-kitab karya ulama ini bukan saja dibaca oleh kelompok kecil di kalangan masyarakat Minangkabau di mana ia dilahirkan, bukan pula hanya oleh warga Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang pernah dipimpinnya, tetapi juga tersebar luas di kalangan umat Islam. Bisa dikatakan, orang Islam Indonesia, khususnya kelompok tradisional, menyatakan Kiai Sirajuddin sebagai pembela mazhab Syafi’i di Indonesia yang argumentatif dan menguasai bidangnya lewat kitab-kitab yang disusunnya. Kalangan tradisional di Indonesia, termasuk kalangan Nahdlatul Ulama, mengakui kealiman ulama ini. Ini terbukti dari banyaknya warga NU yang membaca karya-karya K. Sirojuddin Abbas, terutama warga NU dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

Kelebihan lain Sirajuddin Abbas, selain seorang ulama muallif, ia juga sangat gigih mempertahankan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya mazhab Syafi’i dalam bidang ilmu fikih. Pembelaan ini relevan sekali dengan kondisi Indonesia dan Asia Tenggara yang mayoritas penganut mazhab Syafi’i dalam ibadahnya. Karena pembelaannya yang gigih dan argumentatif, banyak kalangan modernis yang menyebutnya terlalu kaku dan apriori terhadap paham lain, khususnya paham-paham baru.

Sebagai ulama yang termasuk “Kaum Tua” atau tradisional/adat di Minangkabau, meski tidak terlalu menonjol karena usianya masih muda, Sirajuddin Abbas terlibat dalam kancah perdebatan dengan ulama modernis atau “Kaum Muda”.

Salah seorang dari “Kaum Tua” yang pertama kali terjun dalam kancah perdebatan itu adalah Datoek Soetan Maharadja, seorang pemuka adat dan pelopor jurnalistik di Minangkabau.  Pada tahun 1892, Soetan Maharadja yang semula bekerja sebagai jaksa memutuskan berhenti dari pekerjaan, dan bekerja penuh waktu sebagai jurnalis. Ia lantas menjadi editor di sebuah koran terbitan Padang, Palita Ketjil yang beberapa tahun kemudian berganti nama menjadi Warta Berita.

Sepanjang 1901-1904, ia bekerja sebagai koresponden Bintang Hindia—suratkabar berbahasa Melayu yang terbit di Belanda—dan Insulinde. Pada tahun 1904-1910, Soetan Maharadja tercatat sebagai editor Tjahaja Sumatra, koran milik orang Eropa. Meski dituduh sebagai “kaki tangan gubernemen”, ia juga terkenal dan dihargai sebagai “seorang dengan integritas tinggi dan berkaliber di dunia jurnalisme Melayu”.

Di tahun-tahun inilah masa puncak kejayaan Datuk Soetan Maharadja. Tulisan-tulisanya di Tjahaja Sumatra tidak hanya mencerminkan hasratnya agar orang Sumatra mengejar kemajuan, tetapi ketetapan hatinya untuk meyakinkan penduduk Minangkabau akan gagasannya mengenai model modernisasi yang harus mereka pilih. Seraya menganjurkan pendidikan Barat untuk penduduk pribumi, ia menolak penyerapan total budaya dan tata krama Barat (Adam 2003, hal. 227).

Tak puas bekerja di suratkabar milik orang Belanda, di tahun 1911 Datuk Soetan Maharadja memutuskan menerbitkan korannya sendiri:  Oetoesan Melajoe. Dalam surat kabar tersebut tertera : “Achbar ini ditjitak pada pertjitakan orang Minangkabau.” Melalui kalimat ini, ia ingin menunjukkan kemampuan kaum Minangkabau dalam menguasai usaha surat kabar dan percetakan, yang ketika itu banyak dijalankan oleh orang-orang Belanda.

Tak lama setelah terbit, Oetoesan Melajoe segera terlibat polemik dengan Al Moenir, koran yang diterbitkan kaum ulama pembaharu. Oetoesan Melajoe menjadi corong kaum adat Minangkabau. Sebagai “penghulu” kaum adat—yang ayahnya menjadi korban kaum Paderi– Datuk Soetan Maharadja menyerang para pengasuh Al Moenir dengan sengit. Ia, misalnya, menyebut kaum ulama tersebut sebagai pengikut Wahabi atau Paderi.

Sebaliknya, Al Moenir menyebut kaum fanatikus adat—seperti Datuk Soetan Maharadja—sebagai musuh Islam yang harus dilawan. Garis redaksional Al Moenir, yang dipimpin Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah (ayahanda Hamka)– adalah religius radikal. Koran ini memuat tulisan tentang berbagai topik yang sampai saat itu dianggap tabu oleh kaum adat dan kaum tua ulama.

Demikian kerasnya perdebatan antara Datuk Soetan Maharadja dengan Al Moenir, suratkabar lain di Padang menyebutkan bahwa debat tak berkesudahan seperti itu malah akan berakibat buruk bagi masyarakat. Tapi, Datuk Soetan Maharadja tak mengindahkan peringatan itu. Bahkan, ia kemudian menerbitkan lagi Soeloeh Melajoe dan dwimingguan Soeara Melajoe untuk memperkuat barisan melawan Al Moenir. Melalui kedua koran ini, terutama Soeara Melajoe, ulama “Kaum Tua”—yang dipimpin Syech Chatib Ali, yang sempat dicap murtad oleh para ulama reformis– menyangkal pendapat para pengasuh Al Moenir.