Meningkatnya mobilisasi petani dan akibat pemogokan yang mengikuti membuat pemerintah ketar-ketir. Mereka mengeluarkan jurus andalannya: penangkapan dan mencabut hak berkumpul. Misbach ditangkap pada 16 Mei di stasiun ketika hendak melanjutkan tur propaganda ke Kebumen.

Jika kombinasi penangkapan polisi dan peningkatan upah sukses memberangus gerakan mogok buruh, gerakan petani lebih sulit diatasi. Mogok dan protes berganti berubah menjadi pertemuan-pertemuan kecil dibungkus acara kenduri atau selametan dan luput dari incaran mata-mata. Perlawanan petani bersama SH di Surakarta benar-benar mati ketika pemerintah menangkap sekaligus membuang Tjipto ke luar Jawa.

Menjalani masa pemenjaraan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan, Misbach akhirnya dibebaskan pada tahun 1922.  Meski sudah dibebaskan tak berarti Misbach benar-benar sepenuhnya bebas. Dia tetap dianggap sebagai ancaman pemerintah. Namanya masuk dalam daftar 10 tokoh penting pergerakan yang harus diawasi dan semua gerak-geriknya dikuntit polisi rahasia.

Kembalinya Misbach ke kancah pergerakan menemukan Surakarta yang benar-benar berbeda. Pergerakan didominasi sengitnya persaingan SI dan PKI. Semula, Misbach memilih netral dengan perseteruan itu. Dia masih menemui Tjipto dan Douwes Dekker di Bandung, tinggal di Semarang dengan Semaoen, serta menjumpai Tjokro di Kedungjati. Dia juga beberapa kali mengikuti Tjokro menghadiri dan berbicara pada rapat-rapat lokal SI.

Bagaimanapun, Misbach tak bisa terus-menerus bersikap netral. Dalam pandangannya, kunci utama menjadi seorang mukmin sejati adalah berjuang melawan fitnah. Misbach menyimpulkan loba dan tamaknya kapitalisme dan imperialisme adalah fitnah menjauhkan muslim dari Tuhan. Menurut Misbach, mereka yang mengaku mukmin dan Islam tapi tidak berjuang melawan fitnah adalah golongan munafik.

Kembali mengelola Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, langkah pertama yang dilakukan Misbach adalah “menendang” para munafik keluar. Kedua media massa itu memutuskan tak mengirim delegasi pada kongres Al-Islam yang digelar Tjokro dan menuding sebagai jelmaan TKNM. Misbach juga mengirim surat kepada semua staf Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, yang menanyakan apakah mereka siap mengorbankan segalanya untuk berperang melawan fitnah. Sebagai jawaban, semua anggota Muhammadiyah seperti Ahmad Dahlan dan Fachrodin mundur.

Pecah dengan Muhammadiyah tak serta-merta membuat Misbach berseberangan dengan Tjokro dan SI. Ia masih berkeliling dengan Tjokro menyerukan persatuan SI dan menentang ide disiplin partai yang digagas Agus Salim. Misbach juga tetap mengatakan prinsip-prinsip komunisme selaras dengan prinsip Islam. Sayang, kongres SI di Madiun membuyarkan harapannya tentang persatuan SI melawan “fitnah” kapitalisme dan imperialisme.

Meski mempelajari komunisme dan menggunakannya sebagai senjata untuk melawan Pemerintah Hindia, pada dasarnya Misbach tidak berubah. Ia tetap menjadi muslim yang taat dan patuh pada perintah-perintah Islam serta mengikuti teladan Nabi Muhammad. Justru, bagi Misbach, komunisme adalah jalan untuk membuktikan sikapnya sebagai Islam sejati. “Saya bukan haji. Tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Makkah dan Madinah.”

Misbach berpendapat, ada banyak kesesuaian antara Alquran dan komunisme, seperti pengakuan hak asasi manusia dan perintah Tuhan melawan penindasan dan pengisapan. “Komunisme tidak toleran pada diskriminasi pangkat, ras, dan dengan demikian mengutuk keberadaan kelas-kelas di masyarakat. Slogannya adalah sama rata sama rasa.”

Di sisi lain, kemunculan Misbach sebagai tokoh PKI adalah berkah sekaligus persoalan. Berkah karena Misbach menjadi motor penggerak PKI, namun menjadi persoalan karena pemahaman komunisme sebagai sabillilahisme melawan kapitalisme benar-benar menyulitkan hoofdbestuur PKI, terutama bagi penganut internasionalis doktriner seperti Darsono.

Dengan tensi yang terus dipompa, Surakarta pada paro pertama tahun 1923 hanya menunggu pecah kerusuhan. Kasak-kusuk berkembang liar dan rumor menyebar tak terkendali. Atmosfer itu terus meningkat menjelang perayaan sekaten 14-23 Oktober 1923.  Pamlet-pamflet stensil bergambar palu arit dan lambang tengkorak juga beredar luas di Surakarta pada awal Oktober itu. Pamflet yang disebarkan orang tak dikenal itu memperingatkan agar warga tak perlu datang ke perayaan sekaten.

Pada puncak perayaan, bangsal utama hadirin di alun-alun utara terbakar. Kekacauan berlanjut, tanggal 17 Oktober bom-bom dilemparkan ke dalam tembok Mangkunegaran. Mobil-mobil dan kediaman sentana dalem kepatihan tak luput dari aksi pelemparan bom. Tiga hari berselang, bom juga dilempar ke mobil sunan dan rumah R.M.A. Woerjaningrat, bekas Ketua Perhimpunan Budi Utomo sekaligus saudara patih.

Pada hari yang sama, Residen Surakarta memberi wewenang polisi untuk menciduk Misbach. Dia dibuang ke Manokwari dan meninggal karena malaria pada 24 Mei 1926. Misbach dimakamkan di samping pusara istrinya. [Teguh Usia]