Ilustrasi

Koran Sulindo – Dakwaan terhadap kasus suap PT Brantas Abipraya terhadap 3 terdakwa yaitu Sudi Wantoko, Dandung Pamularno dan Marudut Pakpahan memiliki 2 versi. Versi pertama, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Sitomorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Tomo Sitepu disebut mengetahui perkara suap-menyuap.

Sementara versi kedua, Sudung dan Tomo tidak mengetahui adanya permintaan uang terhadap PT Brantas. Meski tidak mengetahuinya, pihak PT Brantas tetap menyerahkan uang melalui perantara bernama Marudut. Namun, di perjalanan Marudut diciduk penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Karena itu, Sudi yang merupakan Direktur Keuangan dan Human Capital PT Brantas bersama Dandung Senior Manajer Pemasaran PT Brantas dan Marudut didakwa menyuap tanpa ada pihak penerima suap. Kemudian, ketiganya juga didakwa melakukan percobaan penyuapan tanpa ada pihak yang pernah meminta uang.

Dakwaan ini sesungguhnya menjadi ganjil. Sebab, bagaimana mungkin penyuapan terjadi tanpa ada pihak yang menerima suap. Atau bagaimana mungkin percobaan penyuapan terjadi tanpa pernah ada yang meminta uang. Bahkan jika itu dibebankan kepada Marudut sebagai pihak yang meminta uang, tetap unsurnya tidak terpenuhi sebab Marudut hanyalah pihak swasta.

Jaksa penuntut umum dari KPK Irene Putrie dalam dakwaan menguraikan bagaimana awalnya peristiwa suap menyuap yang melibatkan PT Brantas dan Kepala Kejati Sudung Sitomorang terjadi. Semuanya berawal dari penerbitan surat penyidikan terhadap penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas senilai Rp 7,028 miliar oleh Kejati DKI.

Aspidsus Kejati DKI Tomo Sitepu lantas menindaklanjutinya dengan memanggil staf PT Brantas untuk dimintai keterangan perihal kasus itu. Pada 21 Maret, Sudi menerima laporan dari Manajer Keuangan PT Brantas Joko Widiyantoro tentang suart panggilan dari Kejati DKI.

Dalam surat itu nama Sudi telah dicantumkan sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sudi paham bahwa kasus tersebut sudah masuk ke tahap penyidikan. Sudi lantas meminta bantuan kepada Dandung untuk menyelesaikan persoalan. Dandung selanjutnya mencari tahu siapa Sudung Kepala Kejati DKI. Informasi yang diperolehnya bahwa Marudut kenalan baik Sudung.

Informasi itu lalu disampaikan kepada Sudi. Dan Sudi setuju agar perkara itu diselesaikan melalui Marudut. Pada 22 Maret 2016, Dandung dan beberapa rekannya bertemu dengan Marudut di Club House Lapangan Golf Pondok Indah, Jakarta. Dandung lalu menyampaikan niatnya agar Sudung menghentikan perkara yang menjerat Sudi.

Marudut lalu menemui Sudung dan Tomo untuk menyampaikan niat dari Sudi melalui Dandung pada 23 Maret 2016. Menanggapi keinginan Sudi, Sudung meminta Marudut berkoordinasi dengan Tomo. Dalam suatu pertemuan, Tomo mengatakan kepada Marudut bahwa kasus PT Brantas sudah masuk ke tahap penyidikan. Padahal kasus itu masih dalam tahap penyelidikan.

Atas penjelasan Tomo itu, Marudut meminta agar kasus tersebut dihentikan atau paling tidak diturunkan menjadi penyelidikan. Tomo setuju. Syaratnya ada harga yang harus dibayar PT Brantas. Marudut menyanggupinya dan menyampaikan hal itu kepada Dandung yang sudah menunggunya di Hotel Gran Melia.

Setelah mendengar penjelasan dari Marudut, Dandung kemudian menemui Sudi dan meminta agar disediakan Rp 2,5 miliar untuk menghentikan perkara. Sudi lantas memerintahkan Dandung untuk mengambil uang dari kas PT Brantas. Uang itu dicairkan seolah-olah untuk pengeluaran pembiayaan proyek sebesar Rp 5 miliar.

Uang sebesar Rp 2,5 miliar kemudian ditukarkan ke dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang berjumlah US$ 186,035 ribu. Uang sebesar US$ 37,2 ribu disimpan untuk membiayai makan dan golf dengan Sudung, sedangkan selebihnya, US$ 148,835 ribu atau setara Rp 2 miliar diserahkan kepada Marudut.

Setelah uang berada di tangan, marudut lantas menghubungi Sudung dan Tomo. Selanjutnya Marudut dipersilakan datang ke kantor Kejati DKI. Dalam perjalanan Marudut ditangkap dengan bukti US$ 148,835 ribu. Namun, dakwaan lain dipersiapkan yaitu bahwa percobaan suap-menyuap itu sama sekali tidak diketahui Sudung dan Tomo.

Pemeriksaan Jaksa Agung Muda Pengawasan terhadap Sudung dan Tomo membenarkan keganjilan dakwaan itu. Meski dinyatakan tidak melanggar etika, Sudung dan Marudut saling mengenal. Namun, hubungan keduanya disebut karena hubungan kemasyarakatan.

Seperti alur cerita, ujung kasus ini nampaknya hanya melibatkan ketiga orang yang menjadi terdakwa saat ini. Itu tampak pada ketiga terdakwa yang sama sekali tidak menolak dakwaan dan berharap agar persidangan cepat selesai. Karena itu, tidak akan ada hal baru dalam persidangan nanti.

Keinginan KPK untuk mendalami keterlibatan Sudung dan Tomo juga tidak terlihat. Alasannya, penyidik hingga hari ini masih menganalisis secara khusus keterlibatan Sudung dan Tomo. [Kristian Ginting]