Ilustrasi/siloka.com

Koran Sulindo – Bulan itu Indonesia memasuki usia ke-17 tahun kemerdekaan, usia-usia merekah dari negeri baru yang belum lama bisa mengucap kata ‘aku’ itu. Itu juga minggu yang emosional bagi bangsa itu. Papua, wilayah yang selama ini masih dicengkram Belanda, akan diserahkan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Ir Soekarno, presiden republik tersebut sedang beristirahat di Istana Tampak Siring, Bali. Ia sedang menulis konsep pidato yang biasanya dilakukan setiap tanggal 17 Agustus.Dalam kesunyianTampaksiring itu ia harus berulang kali mengganti kertas, karena air matanya sering tak bisa tertahan menetes, membuatnya tak bisa ditulisi lagi.

Kelak, Bung Karno menamakan pidato pada 17 Agustus 1962 itu sebagai ‘Tahun Kemenangan’.

“Dahulu kita pernah mengalami “a year of decision”, dan pernah mengalami “a year of challenge”, sekarang kita berada dalam “a year of triumph”! A year of triumph, satu tahun kemenangan, atau lebih tegas satu tahun permulaan kemenangan dalam Rodanya Revolusi, yang tidak saja dirasakan oleh Rakyat Indonesia, tetapi diakui pula oleh dunia-luar,” kata Bung Karno.

Menurut proklamator itu, revolusi Indonesia pernah mengalami beberapa saat yang menentukan. Pertama, pada 17 Agustus 1945, saat memulai Revolusi formil. Kedua, saat pengakuan kedaulatan pada akhir 1949. Ketiga, saat sadar bahwa penyelewengan-penyelewengan sedang berjalan, yaitu saat-saat 1957.

“Saat-saat tahun 1957 itu saya cakup dalam sebutan “tahun ketentuan”, “a year of decision”. Jikalau pada waktu itu kita tidak sadar atas penyelewengan-penyelewengan itu, maka Revolusi Indonesia niscaya akan terjungkel samasekali dalam alam liberal, terjungkel-tersungkur sama sekali dalam alamnya ketidakrevolusian,” katanya.

Setelah itu adalah saat 1959, saat-saat Indonesia mulai mengatasi penyelewengan-penyelewengan itu dan menemukan kembali semangat awalnya.

“Revolusi kita, rediscover our revolution, dan juga memberi landasan yang teguh kepada Revolusi kita, berupa Manipol-USDEK.”

Setelah 17 tahun merdeka, Indonesia mengalami kemenangan lagi karena revolusi Indonesia tak lagi “gumantung tanpa cantelan”, tetapi satu Revolusi yang berideologi, satu Revolusi yang berkonsepsi, satu Revolusi yang berlandasan, satu Revolusi yang berlandasan Manipol-USDEK.

Bung Karno tahu, pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 dapat juga dipakai sebagai alasan untuk menyebutkan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan, namun ia menyebutnya masih revolusi fisik semata.

“Revolusi kita pada waktu itu belum meliputi Revolusi Mental. Belum berpijak kepada Manipol-USDEK! Revolusi kita pada waktu itu belum merupakan benar-benar satu Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan.”

Setelah 3 tahun Bung Karno melakukan dekrit presiden pada 5 Juli 1959 itu, Indonesia memang pelan-pelan bisa membangun. Gerombolan-gerombolan DI-TII diringkus;  sisa-sisa pemberontak PRRI-Permesta turun gunung menyerahkan diri dan diampuni; pada 17 Agustus 1962, Papua resmi kembali ke pangkungan RI.

Sejak itulah Bung Karno bisa tenang bekerja demi bangsanya. Ia membangun Hotel Indonesia, pusat perbelanjaan pertama Sarinah, membangun pusat olahraga di Senayan, Monumen Nasional…

Membangun Karakter Bangsa

Tahun itu juga Bung Karno mulai banyak berpikir tentang membangun karakter bangsa. Namun dalam usianya yang memasuki 60 tahun itu bianglala pemikiran Bung Karno begitu luas, beberapa konsep kadang bercampur, atau ia tak setia menggunakan satu nama untuk satu konsep pemikiran.

Itulah sebab dalam beberapa tulisan atau pidato, ia menggunakan terminologi nation building dan nation and character building. Ia tidak membedakan secara tajam kedua terminologi yang digunakannya, meskipun kemudian Sukarno lebih kerap menekankan terminologi nation and character building (NCB).

Menurut Bung Karno, nation building adalah upaya membina bangsa, sementara nation and character building dimaknai sebagai upaya membentuk karakter/mental bangsa Indonesia. Secara operasional pemikiran tentang NCB merujuk pada apa yang disebutnya dengan Trisakti yang meliputi, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Bila dipadukan ketiganya tersimpul dalam satu kata: Berdikari.

Presiden Soekarno membacakan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959/iphhos

Dari semua tokoh yang hidup semasa dan seperjuangan dengannya, hanya Bung Karno yang berpikir tentang NCB ini. Ia meletakkan dasar teoritis dan konseptual pemikiran tentang bagaimana bangsa ini harus dibangun.

Bung Karno tidak hanya mencita-citakan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tetapi ia juga memiliki konsepsi yang jelas tentang masa depan bangsa Indonesia.

Bagi Bung Karno, NCB adalah pondasi bagi upaya membangun Indonesia, seperti pidatonya pada peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1966 ini:

“Sesungguhnya toh bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan adalah pertama-tama dan pada tahap-utamanya membangun Jiwa Bangsa! Bukankah demikian? sekali lagi, bukankah demikian? Tentu saja keahlian adalah perlu! Tetapi keahlian sadja, tanpa dilandasi pada djiwa-jang-besar, tidak akan dapat mungkin akan mentjapai tudjuannya. Inilah perlunya, sekali lagi mutlak perlunya Nation and Character Building!”

Bangsa Baru

Pemikiran Bung Karno tentang nation and character building merupakan kristalisasi pemaknaannya tentang realitas objektif saat itu; realitas global, realitas bangsa, dan realitas ide-ide besar yang berkembang. Soekarno berupaya membentuk sebuah realitas bangsanya yang baru, dengan merumuskan dan menawarkan pemikiran politiknya tentang nation and character building.

Dengan merespon realitas sosial yang ada saat itu, ia berupaya mengabstraksi nilai-nilai, harapan-harapan dan pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam masyarakat lalu merumuskannya secara baru. Bersamaan dengan proses itu, ia membentuk realitas baru bangsanya.

Periode demokrasi terpimpin antara 1957-1965 adalah masa-masa ketika Bung Karno mulai menggunakan terminologi nation building dan nation and character building. Secara khusus, dalam pidato 17 Agustus tahun 1957, 1963, 1964, 1965, dan 1966, secara eksplisit Bung Karno menyebut istilah nation building, character building, dan nation and character building (NCB).

Sayang setelah peralihan kekuasaan ke tangan Orde Baro Jendral Soeharto, gagasan besar Bung Karno ini juga lenyap ke dasar bumi.

Tesis karya Trio Dharma Kristo R di Program Studi S2 Politik dan Pemerintahan UGM (Kontruksi Sosial Pemikiran Politik Sukarno tentang Nation and Character Building; 2017), menyebutkan signifikansi gagasan NCB Bung Karno saat ini harus diperhadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai suatu entitas bangsa bukan saja tergolong muda tetapi tidak boleh dipandang final. Di sisi lain, ketidak mampuan mengelola keragaman Indonesia bisa jadi pada titik tertentu akan menggiring Indonesia pada persoalan fragmentasi dan disintegrasi.

Sebagai bangsa, Indonesia jelas unik, karena meliputi 17 ribu pulau, terbentang sepanjang 5.000 km, melintasi tiga zona waktu, dan berisi ribuan suku. Sebagai suatu entitas masyarakat, Indonesia juga terbilang tua, namun secara historis, bangsa ini masih muda.

Pada saat NCB dicetuskan Bung Karno sejak 1957, Indonesia tak henti diganggu bangsa asing. Saat itu juga dunia sedang dalam periode perang dingin antara dua negara adi kuasa, Amerika Serikat versus Uni Soviet. Di dalam negeri, kasak-kusuk politik makin mengerucut; Partai politik dan militer berseteru, beberapa daerah memberontak terhadap pusat. Dalam konteks persoalan yang kompleks semacam ini diperlukan sebuah terobosan dalam upaya membangun bangsa Indonesia. Kondisi-kondisi tersebut menjadikan NCB menjadi mutlak diperlukan.

Tak hanya konsep pemikiran, Bung Karno sebenarnya juga sudah menawarkan cara-cara teknis untuk melakukan pembangunan karakter bangsa tersebut.

Yang pertama, bangsa itu harus berinvestasi pada keterampilan manusia (human skill investment), lalu investasi material (material investment), dan terakhir, investasi mental (mental investment).

Menurut Bung Karno, seusai perjuangan fisik menumbangkan kolonialisme dan imperialisme, Indonesia memasuki tahap perjuangan baru, dan harus menundukkan alam agar bersahabat dan memenuhi kebutuhan manusia. Pada investasi material, Bung Karno membangun sekolah-sekolah teknik di seluruh Indonesia. Ribuan putra-putri Indonesia dikirim belajar di luar negeri, terutama ke Eropa Timur dan Uni Soviet, dan pada pidato pelepasan, Bung Karno selalu berpesan mereka belajar sebaik-baiknya dan harus kembali ke tanah air untuk membangun negeri.

Untuk penyiapan mental melahirkan manusia Indonesia baru, yang mental politiknya berdaulat, mental ekonominya berdikari, dan mental kebudayaannya berkepribadian bangsa Indonesia, yang utama adalah mereka harus anti-imperialisme dan anti-kapitalisme.

Bung Karno menyebut saat-saat itu sebagai masa transisi, seperti dikatakannya dalam pidato perayaan kemerdekaan, 17 Agustus 1957, yang diberi judul, “Satu Tahun Ketentuan”.A Year of Decision.

“Nation-building membutuhkan bantuannya Revolusi Mental! Karena itu, adakanlah Revolusi Mental! Bangkitlah! Ya! Bangkitlah, bangkit dan geraklah ke arah pemulihan jiwa.. menyadari kembali cita-cita nasional, menyadari kembali cita-cita sosial, menjadi manusia baru.”

Menurut Bung Karno, Revolusi Mental adalah ikhtiar terus-menerus, yang dilakukan tiap hari selama bertahun-tahun.

“Marilah kita semua satu-persatu mencoba menjadi besar. Angkatkanlah diri kita di atas segala tetek-bengek yang kecil-kecil! Revolusi adalah suatu hal yang harus dijalankan dengan aksimu dan idemu sendiri. For a fighting nation there is no journey”s end…” [Didit Sidarta]